Kisah-Kisah Kota Tersembunyi 25

Hening. Setelah kekalahan pria berjubah hitam, ruangan menara terasa begitu sunyi, seolah-olah waktu itu sendiri berhenti untuk beberapa saat. Gabriel berdiri dengan pedang masih terangkat, nafasnya berat, memandang ke arah jam pasir raksasa di tengah ruangan. Pasir-pasir di dalamnya telah berhenti bergerak, menciptakan pemandangan yang tak biasa—saat seolah-olah waktu benar-benar telah membeku.

"Sudah selesai," gumam Gabriel, suaranya hampir tak terdengar di antara keheningan yang mencekam. Namun, meski kata-katanya sederhana, ada getaran di dalam dirinya yang belum bisa hilang. Rasanya seperti mereka hanya membuka pintu pertama dari teka-teki yang lebih besar.

Lyra, yang masih menjaga perisai pelindung di sekeliling mereka, menurunkan tangannya perlahan. Keringat mengalir di pelipisnya, matanya tampak lelah namun tetap tajam. "Sudah selesai... untuk saat ini," katanya pelan, sambil menatap Gabriel. "Tapi aku merasa ini bukan akhir dari segalanya."

Ibu Marla berdiri diam, memperhatikan dengan seksama simbol-simbol kuno di lantai yang masih bersinar samar. Cahaya dari simbol-simbol itu perlahan memudar, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tetap tinggal di sana, seolah-olah rahasia yang lebih dalam masih tersembunyi di balik permukaan. "Benar," jawab Ibu Marla dengan nada rendah, "Penjaga Bayangan mungkin telah kalah, tapi kekuatan yang kita hadapi ini jauh lebih besar dari yang kita kira. Ada jejak waktu yang tertinggal di sini, jejak yang telah terlupakan oleh dunia selama berabad-abad."

Eldrin, yang sebelumnya sibuk dengan ritualnya, kini berdiri tegak dan mendekati altar jam pasir itu. Jarinya menyentuh batu-batu hitam yang membentuk altar tersebut, merasakan dinginnya yang menusuk. "Altar ini…." dia berbicara perlahan, suaranya nyaris berbisik. "Bukan hanya sekadar tempat untuk menyimpan jam pasir ini. Ada sesuatu yang lebih dalam lagi. Aku bisa merasakan jejak kekuatan kuno yang masih tersimpan di sini."

Semua orang menoleh ke arahnya, mendengar nada misterius dalam suaranya. Gabriel, yang masih waspada, perlahan mendekati altar itu juga. Saat dia lebih dekat, dia bisa merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitar altar terasa lebih berat, seakan ada sesuatu yang mengalir di antara retakan-retakan batu, mungkin energi dari waktu yang terkunci.

Jam pasir besar di depan mereka tampak begitu sunyi, tetapi Gabriel tahu bahwa itu bukan sekadar benda biasa. Setiap butiran pasir di dalamnya seolah menyimpan kenangan, perjalanan waktu yang tak terhitung jumlahnya, dan mungkin takdir dari banyak dunia. Dia menatap jam pasir itu lebih dekat, memperhatikan bahwa beberapa butir pasir di dalamnya masih mengambang, tidak pernah jatuh ke dasar.

"Kenapa pasirnya tidak jatuh?" tanya Gabriel, lebih kepada dirinya sendiri, namun suaranya terdengar di antara keheningan.

Lyra, yang kini berdiri di sampingnya, mengernyit. "Mungkin ini bukan jam pasir biasa. Kalau memang bisa mengendalikan waktu, bisa saja pasir itu melambangkan sesuatu yang belum kita pahami. Sesuatu yang masih bergerak di luar jangkauan kita."

Ibu Marla mengangguk pelan, menatap pasir yang tertahan di udara. "Waktu, seperti yang selalu aku pelajari, bukanlah garis lurus. Mungkin pasir ini mewakili momen-momen yang tertahan, peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, atau bahkan sesuatu yang bisa kita ubah."