Pagi itu, aku terbangun saat dunia masih digelayuti gelap. Ayam-ayam pun belum sepenuhnya terjaga, hanya beberapa kokok sayup terdengar dari kejauhan. Udara pagi Colomadu menusuk hingga tulang, tetapi aku tahu aku harus bangun dan menghadapi rutinitas. Dengan langkah gontai, aku menuju kamar mandi. Air dingin menyambut tubuhku seperti tamparan halus—sejuk tapi memaksa tubuhku untuk benar-benar terjaga. Usai mandi, aku mengenakan pakaian kerja dan menyiapkan sepedaku. Langit masih kelabu, dan kabut tipis seperti selimut transparan melayang di udara, menambah syahdu perjalanan pagiku.
Aku mengayuh sepeda menuju kantor di Manahan. Jalanan pagi itu sepi, hanya sesekali terlihat kendaraan melintas, suara mesinnya mengiringi derit rantai sepedaku. Pohon-pohon di sepanjang jalan bergoyang pelan diterpa angin pagi yang dingin. Di dadaku, ada rasa syukur yang sulit dijelaskan, seperti menikmati momen kecil dalam hidup yang sering terlewatkan. Aku tersenyum kecil ketika melihat matahari perlahan muncul dari balik horizon, sinarnya yang hangat mulai merambat ke tubuhku.
Sampai di kantor, kegiatan pagi dimulai dengan senam. Tapi entahlah, pagi itu semangat senamku tidak seperti biasanya. Gerakanku setengah hati, hanya sekadar mengikuti aba-aba instruktur. Namun, suasana pagi di basement kantor tetap terasa hangat, apalagi ketika matahari mulai bersinar lebih terang, seolah memberi energi baru.
Setelah senam, kami melanjutkan dengan sarapan bersama. Menu pagi itu adalah lontong sayur, pilihan Mbak Ambar, yang tidak pernah gagal dalam memilihkan makanan bagi kami. Kuahnya gurih, dengan aroma santan yang menggoda. Sebagai pelengkap, aku mengambil dua gelas es teh, yang langsung menyegarkan kerongkongan setelah gerakan senam yang seadanya tadi. Di sela-sela sarapan, aku mendengarkan rekan-rekan membicarakan agenda hari itu. Salah satunya, dan yang paling menarik perhatian, adalah acara perpisahan pegawai yang mutasi ke kantor lain.
Konsep perpisahan hari ini unik, ada - ada saja memang ide dari Bagus, Ketua Forum Pelaksana kami yang baru, terinspirasi dari film Squid Game. Ada penyesuaian di sana-sini, tentu saja, agar tetap sesuai dengan situasi dan kondisi. Kostum mereka berupa jas hujan hijau dan merah, yang membuat beberapa dari kami tertawa geli saat melihatnya.
Permainan-permainan yang diadaptasi juga tak kalah menggelitik. Salah satu yang paling heboh adalah permainan mirip Mingle, tapi dengan tambahan aturan-aturan baru yang dibuat oleh panitia. Semua berusaha bermain dengan serius, tetapi selalu saja ada yang gagal dan tertawa lepas karena gerakannya terlalu konyol untuk diabaikan. Tawa riuh kami menggema di basement kantor, melarutkan sejenak rasa haru yang menggantung di udara.
Setelah semua permainan selesai, tibalah saat yang paling emosional—sesi pesan dan kesan dari rekan-rekan yang akan meninggalkan Kanwil. Satu per satu mereka maju, berdiri di depan dengan wajah yang mencoba tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa haru.
Suasana tadi terasa hangat meski diselimuti nuansa haru. Dalam basement yang tidak terlalu luas, warna biru dari seragam olahraga kami mendominasi, berpadu dengan dekorasi dinding penuh motif dedaunan yang menenangkan. Di sudut, stan es teh Tong Tji berdiri sederhana, menjadi saksi momen-momen kecil penuh makna.
Glegar, dengan suara tenangnya, memegang mikrofon. Ekspresinya serius, namun ada senyum kecil yang sesekali muncul di sudut bibirnya, seperti mencoba menyembunyikan emosi yang memuncak. Ia menyampaikan kesan dan pesan dengan kalimat yang teratur, setiap kata menggema di ruangan yang hening.
Glegar berbicara penuh kejujuran, menyampaikan rasa syukur atas kebersamaan yang selama ini terjalin. Ia bercerita tentang momen-momen sederhana yang tak terlupakan—senyum di sela-sela pekerjaan, obrolan ringan di kantor, hingga kerja keras bersama saat menghadapi tantangan besar. Kata-katanya membawa tawa kecil, namun tak ayal membuat beberapa orang terisak haru.
Orang - orang Glegar mendengarkan dengan penuh perhatian, beberapa menunduk, mengusap mata yang berkaca-kaca. Suasana di ruangan itu penuh dengan rasa kehilangan. Meski ini adalah momen perpisahan, ada janji tak terucap bahwa kebersamaan ini tidak akan pernah benar-benar hilang, hanya berubah bentuk.
Ketika Glegar selesai bicara, tepuk tangan menggema. Bukan tepuk tangan biasa, tapi tepuk tangan yang penuh penghargaan dan doa, mengiringi langkah baru yang akan ia tempuh di tempat baru.
Ketika giliran Nugie tiba, ia maju dengan langkah tenang namun terlihat sedikit gugup. Mikrofon berada di tangannya, dan ia menatap sejenak ke arah para rekan yang duduk di hadapannya. Udara seakan-akan menjadi lebih berat, namun Nugie mencoba menguasai dirinya dengan senyum kecil sebelum mulai berbicara.
Suaranya terdengar stabil, meski ada sedikit jeda yang menandakan ia berusaha menahan emosi. Nugie melanjutkan dengan cerita-cerita ringan tentang kesehariannya di kantor, yang mengundang tawa kecil dari beberapa rekan. Namun, ketika ia mulai membicarakan momen-momen terakhir sebelum ia dipindahkan, suaranya sedikit bergetar.
Raut wajah Mbak Yessie, yang berdiri di sampingnya dengan jilbab cokelat, tampak sayu. Matanya menunduk ke lantai sesekali, mungkin mencoba mengalihkan perhatian dari emosi yang mulai menggelayuti. Bibirnya terkatup rapat, namun ada sorot mata yang menyiratkan banyak hal: sedih, haru, tapi juga rasa bangga dan syukur atas kebersamaan yang telah terjalin.
Di sisi kanan, Mbak Hangga yang mengenakan jilbab krem terlihat diam, tapi ia berusaha keras menahan ekspresinya. Tatapannya kosong, tapi bukan karena tak peduli—melainkan karena pikirannya mungkin sedang melayang, mengenang berbagai momen bersama. Sesekali, ia menarik napas panjang, seakan menenangkan diri agar air mata tidak jatuh.
Nugie mengakhiri pesannya dengan senyuman yang tulus, meski ada sedikit genangan di sudut matanya. Tepuk tangan kembali menggema, dan untuk sesaat, semua di ruangan itu merasa bahwa tidak ada perpisahan yang benar-benar memisahkan hati.
Ketika giliran Mbak Yessie tiba untuk menyampaikan kesan dan pesan, suasana yang tadinya penuh haru berubah drastis. Ia maju dengan langkah mantap, membawa energi yang seolah memenuhi ruangan. Senyum khasnya tak pernah lepas, dan gaya tubuhnya yang santai namun penuh percaya diri langsung mengundang perhatian dan langsung disambut tawa ringan. Ia berhenti sejenak, melirik ke sekeliling, seolah memastikan semua mata benar-benar tertuju padanya.
Tanpa basa-basi, Mbak Yessie langsung masuk ke cerita-ceritanya yang penuh improvisasi. Ia bercerita bahwa ia pernah membacakan pantun. "Ada Kakanwil, namanya Bu Etty," ucapnya dengan nada datar. Hampir semua yang hadir langsung membalas, "Cakeeep!" Namun, Mbak Yessie dengan lihai melanjutkan dengan ekspresi serius, “Tapi saya yakin, pasti dalam hati Bu Etty bilang, 'Cateeet.’” maksudnya catet buat dimutasi keluar Kanwil. Gelak tawa meledak di seluruh ruangan. Bahkan Bu Etty sendiri, tidak kuasa menahan tawa. Ia tertawa hingga menutupi wajahnya dengan tangan. Di sisi seberang, Bu Herlin, Mbak Uki dan Jeannete tampak tertawa terbahak-bahak juga.
Melihat reaksinya, Mbak Yessie semakin percaya diri. Ia melanjutkan dengan serangkaian cerita kocak lainnya, kebanyakan berkisar pada pengalaman-pengalaman kecilnya yang entah bagaimana ia sulap menjadi bahan komedi. Ia bercerita tentang kejadian - kejadian, yang menurutnya adalah "kode keras" dari semesta agar ia siap-siap dimutasi, "tapi setelah itu saya dapat surat mutasi, ternyata benar, semesta lagi ngasih kode,” ujarnya dengan wajah pura-pura serius setelah menyambungkan satu hal dengan hal lain, membuat ruangan kembali meledak oleh tawa.
Namun, di tengah keseruannya, Mbak Yessie tak lupa menyelipkan momen introspektif. Nadanya tiba-tiba menjadi lebih pelan, namun tetap ada senyuman kecil di wajahnya. Setelah jeda sejenak, ia kembali dengan cerita lainnya. Ia mengisahkan bagaimana ia selalu mencoba menghubungkan cerita-cerita sederhana dengan teori yang kadang ada masuk akalnya juga sambil tertawa.
Suasana menjadi semakin hangat. Bahkan mereka yang awalnya merasa sedih karena perpisahan, kini tidak bisa berhenti tertawa. Mbak Yessie seperti seorang komika profesional yang tahu persis cara mengubah suasana menjadi penuh kebahagiaan.
Di akhir pesannya, ia memberikan ucapan terima kasih dengan nada lebih serius. Tepuk tangan panjang menggema setelah ia selesai. Di antara tepuk tangan itu, beberapa orang terdengar masih tertawa, mengingat ulang cerita-ceritanya yang begitu menghibur. Suasana ruangan kini terasa lebih ringan, penuh dengan kebahagiaan yang menggantikan rasa haru. Mbak Yessie berhasil menjadikan momen perpisahannya sebagai sesuatu yang bukan hanya penuh kenangan, tetapi juga tawa yang akan terus diingat oleh semua orang.
Setelah tawa mereda, giliran Mbak Hangga melangkah maju. Langkahnya perlahan, terlihat ragu-ragu, dan wajahnya sudah menampakkan emosi yang berusaha ia tahan. Tangan kanannya memegang mikrofon, sementara tangan kirinya mengepal seolah mencari keberanian untuk berbicara.
Ruangan yang tadi riuh oleh gelak tawa kini berubah hening. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan penuh perhatian. Suasana yang semula penuh canda kini terasa lebih syahdu. Mbak Hangga menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, namun suaranya tetap bergetar ketika ia mulai berbicara.
Ia terdiam sejenak, mengusap matanya dengan punggung tangan, sebagian besar orang tersenyum simpati, menunggu dengan sabar. Ia melanjutkan, Suaranya semakin serak, dan ia menunduk, menarik napas panjang lagi, mencoba melanjutkan.
Ia berhenti sejenak, suaranya pecah, dan ia menunduk lagi, sesenggukan, suasana masih hening, hanya terdengar isakan kecil dari beberapa orang yang mungkin ikut terbawa suasana. Bahkan Mbak Uki dan Jeannete yang tadi terbahak-bahak mendengar pantun Mbak Yessie, kini terlihat diam.
Ia mengakhiri pesannya dengan satu kalimat sederhana namun penuh makna, setelah itu, ia menyerahkan mikrofon sambil tersenyum kecil, meskipun matanya masih basah oleh air mata, dengan suasana hati yang sudah begitu mengharu biru, kini semua orang menunggu giliran berikutnya. Hari itu benar-benar menjadi momen yang tak akan dilupakan oleh siapa pun yang hadir.
Acara perpisahan itu akhirnya selesai dengan penuh kesan. Setelah sesi pesan dan kesan terakhir, semua peserta kembali ke meja kerja masing-masing, seperti biasa, tugas-tugas kantor menanti, dan semua kembali ke ritme kerja masing-masing.
Aku menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa, sebagian besar hanyalah hal - hal rutin, meski tetap membutuhkan fokus. Sementara aku bekerja, pikiranku sesekali teringat pada acara tadi pagi. Wajah Mbak Hangga yang penuh haru, pantun kocak Mbak Yessie yang membuat semua tertawa, dan semua kenangan yang terselip di dalamnya terus berputar di kepala.
Saat sore menjelang, aku melihat jam di dinding. Sudah hampir pukul lima. Aku merapikan meja, mematikan komputer, dan bersiap pulang. Sepedaku sudah menunggu di tempat parkir. Aku memeriksa helm dan sepedaku, memastikan semuanya siap untuk perjalanan pulang ke Colomadu.
Langit sore tampak mendung, tetapi tidak terlalu gelap. Aku berkata dalam hati, "Cuacanya bagus. Tidak hujan, tidak panas, mendung, jadi nyaman untuk sepedaan." Aku mulai mengayuh sepedaku dengan semangat, menikmati hembusan angin sore yang sejuk. Jalanan tak terlalu ramai, hanya beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
Setiap kayuhan terasa ringan, dan pikiranku melayang pada hal-hal sederhana yang membuat hari ini istimewa. Kenangan tentang acara pagi tadi, senyuman teman-teman kantor, bahkan sepiring lontong sayur yang aku nikmati di sela-sela sarapan bersama, semuanya terasa indah dalam balutan mendung sore ini.
Namun, di tengah perjalanan, aku melihat beberapa titik kecil air mulai membasahi aspal jalanan. "Ah, hanya gerimis kecil," pikirku. Tapi dalam hitungan detik, titik-titik itu berubah menjadi hujan deras yang tiba-tiba mengguyur tanpa ampun. Aku segera menepi, mencari tempat berteduh.
Hujan turun deras, menciptakan irama yang ritmis saat air menghantam helm yang melindungi kepalaku. Jalanan di depanku mulai tergenang, dan beberapa pengendara motor terlihat berhenti untuk mengenakan jas hujan. Aku pun segera mengenakan jas hujan.
Dalam hati, aku bergumam, "Ya, inilah perjalanan. Kadang lancar, kadang harus bertemu rintangan." Hujan ini mungkin hanya sebuah gangguan kecil, tapi entah kenapa, aku merasa seperti diajak merenung. Tentang bagaimana perpisahan pagi tadi juga seperti hujan mendadak ini—menyebalkan tapi penuh makna. Hujan mengingatkanku bahwa segala sesuatu yang nyaman sekalipun bisa berubah sewaktu-waktu. Tapi, seperti juga perjalanan pulangku ini, hujan pasti akan berhenti, dan langit yang cerah akan kembali.
Aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan meski sepeda dan tubuhku sudah setengah basah. Udara menjadi lebih dingin, tapi juga terasa lebih segar. Pohon-pohon di pinggir jalan tampak lebih hijau, dan aroma tanah basah menguar di udara.
Saat akhirnya sampai di rumah, aku memarkir sepeda di teras dan berdiri sejenak, memandang ke langit tidak juga cerah. Hari ini telah menjadi perjalanan panjang, penuh emosi dan makna. Aku masuk ke dalam rumah, ada secangkir teh hangat buatan istriku, lalu duduk di kursi favoritku. Di luar, sisa-sisa gerimis masih terdengar, seperti melodi penutup dari sebuah hari yang luar biasa.
Senin depan, sebuah babak baru akan dimulai di kantor kami. Pegawai baru akan bergabung untuk menggantikan Nugie yang sudah berpamitan. Namanya Iqlima. Walaupun baru secara resmi bergabung Senin nanti, aku dan beberapa rekan sudah beberapa kali berinteraksi dengannya dalam berbagai kegiatan. Iqlima pindah dari Purbalingga, dan kesan pertama yang kutangkap darinya adalah sosok yang penuh semangat, kreatif, dan enerjik.
Cara bicaranya lugas namun tetap santun, dan dia memiliki kebiasaan tersenyum lebar saat mendengarkan orang lain berbicara—sebuah gestur yang terasa ramah. Dalam beberapa percakapan singkat kami sebelumnya, aku melihat bahwa dia punya banyak ide segar, sesuatu yang pasti akan membawa warna baru di kantor ini.
Aku penasaran dengan dinamika yang akan terbangun setelah dia bergabung. Mungkin dia akan memberikan nuansa baru yang berbeda, atau malah membawa semangat muda yang menular ke seluruh kantor. Yang jelas, melihat antusiasmenya, aku yakin bahwa Iqlima akan cepat beradaptasi dan menjadi bagian penting dari lingkungan kerja kami.
Di sela-sela rasa penasaran itu, aku sudah menduga seberapa cepat Iqlima nantinya akan beradaptasi dengan pegawai lain di Kanwil. Aku tak sabar melihat bagaimana cerita baru akan terjalin dengan kehadirannya. Minggu depan, kantor ini akan terasa berbeda lagi. Pergantian selalu membawa cerita baru, bukan?