Hujan dan Perpisahan

Sore ini, suasana di kantor terasa berbeda. Ruang kerja, yang biasanya penuh semangat dan keakraban, berubah menjadi sunyi dan penuh bisik-bisik. Sebuah pengumuman yang kami semua tahu akan datang akhirnya tiba. Mutasi. Kata ini selalu datang seperti tamu tak diundang yang membawa koper berat penuh perpisahan.

Beberapa teman harus pindah ke kantor lain. Dalam pekerjaan kami, ini hal yang biasa. Tapi kali ini, aku merasa ada yang hilang. Dua teman yang cukup dekat denganku, Nugie dan Mbak Yessie, adalah bagian dari mereka yang akan meninggalkan Kanwil DJP Jawa Tengah II.

Nugie adalah sosok yang selalu ku andalkan. Dia bukan sekadar rekan satu bidang, tapi juga seperti saudara kandung yang penuh kesabaran. Kami sering bekerja bersama, membahas tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas tinggi. Dia adalah seorang ahli, seseorang yang dengan mudah bisa mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Nugie tak hanya menyelesaikan pekerjaannya sendiri, tapi juga membantu kami semua, terutama dalam hal desain. Dia seperti seorang seniman di antara kami, dengan keahlian yang membuatnya berbeda. Kini, dia harus pindah ke Boyolali. Kupikir, siapa yang akan menggantikannya di sini?

Lalu ada Mbak Yessie, salah satu orang pertama yang kukenal ketika aku bergabung di kantor ini setahun lalu. Mbak Yessie adalah sosok yang sulit untuk tidak diingat. Tingkahnya seringkali unik, kadang aneh, tapi itulah yang membuatnya begitu menyenangkan. Dia adalah pusat perhatian di mana pun dia berada, selalu membawa keceriaan dengan cara yang hanya dia bisa. Ketika aku mendengar dia dipindahkan ke Karanganyar, ada sedikit rasa lega karena jarak dari rumahnya akan lebih dekat. Namun tetap saja, kehilangan sosok seperti dia meninggalkan kekosongan.

Setelah pengumuman ini, suasana hatiku terasa berat. Kami sempat berbincang sebentar, mengucapkan selamat jalan dan doa-doa sederhana. Tapi rasanya ada yang menggumpal di dada, sesuatu yang sulit untuk dilepaskan. Seperti ada jalinan tak kasatmata yang tiba-tiba saja putus. Rasanya tak adil harus melepas mereka begitu saja.

Waktu bergulir cepat. Sore ini, hujan turun deras di Surakarta. Langit yang tadinya kelabu kini berubah menjadi gelap pekat. Pukul empat sore, aku menerima pesan dari istriku. “Hujan lebat mas, angin kencang juga, ga usah sepedaan, pulang naik GrabCar aja, ya” Pesannya penuh perhatian, seperti biasa. Aku membacanya sambil memandang ke luar jendela. Hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Tapi entah kenapa, aku tetap memutuskan untuk pulang dengan sepeda. Ada sesuatu dalam hatiku yang membuatku ingin melawan cuaca, seperti aku sedang melawan perasaan kehilangan ini. Kupikir, apa artinya hujan dan angin dibandingkan rasa sedih karena harus berpisah dengan teman-temanku?

Aku mengayuh sepeda di tengah derasnya hujan. Air mengalir deras di jalanan, angin berhembus kencang, mencambuk wajahku tanpa ampun. Setiap kayuhan terasa berat, bukan hanya karena cuaca buruk, tapi juga karena hatiku yang dipenuhi beban. Nugie, dengan semua kebaikannya, tak akan lagi ada di ruangan. Mbak Yessie, dengan semua tingkah uniknya, tak akan lagi membuat kami tertawa di tengah tumpukan tugas.

Hujan semakin deras. Pakaianku basah kuyup, tapi aku terus mengayuh. Setiap tetes hujan seperti menghapus kenangan hari ini, tapi tak mampu menghapus rasa kehilangan ini. Aku teringat percakapan terakhir dengan Nugie dan Mbak Yessie. Tawa mereka, janji untuk tetap berkomunikasi, semuanya terasa samar di tengah gemuruh hujan.

Ketika akhirnya aku sampai di rumah, tubuhku sedikit menggigil. Istriku memandangku dengan khawatir. “Kenapa nggak naik GrabCar aja?” tanyanya. Aku hanya tersenyum kecil, tak tahu harus menjawab apa. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa hujan dan angin sore ini terasa lebih ringan dibandingkan rasa sedih karena kehilangan teman-teman yang sudah seperti keluarga?

Malam ini, aku duduk di ruang tamu sambil memandangi jendela. Hujan masih turun di luar, tapi hatiku perlahan tenang. Aku sadar, perpisahan adalah bagian dari hidup. Meski terasa menyakitkan, aku tahu bahwa setiap perpisahan selalu membawa cerita baru, babak baru. Nugie dan Mbak Yessie akan memulai perjalanan baru mereka di tempat lain, dan aku di sini, di Kanwil DJP Jawa Tengah II, akan melanjutkan ceritaku.

Namun malam ini, di tengah suara hujan yang masih mengguyur atap, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menjaga kenangan tentang mereka, karena di antara ratusan orang yang pernah kutemui, mereka adalah bagian yang tak tergantikan. Hujan dan angin akan berlalu, tapi persahabatan kami akan tetap abadi, meski jarak memisahkan.

Hujan terus mengetuk jendela rumahku malam ini, seperti sebuah melodi yang mengingatkan bahwa segala sesuatu datang dan pergi, seperti air yang mengalir dan waktu yang terus berjalan. Aku merenung sejenak, memikirkan betapa hidup tak pernah berhenti memberi kita pelajaran. Hari ini adalah tentang perpisahan, tentang kehilangan, tentang mencoba menerima bahwa tak ada yang abadi di dunia ini, bahkan keakraban yang telah terjalin begitu erat.

Tidak hanya Nugie dan Mbak Yessie yang berpindah, ada satu lagi teman yang harus mengucapkan selamat tinggal pada Kanwil DJP Jawa Tengah II: Glegar. Nama ini selalu membangkitkan kenangan akan sosoknya yang berwibawa dengan rambut gondrongnya yang khas. Glegar adalah seseorang yang sulit dilupakan, tidak hanya karena penampilannya yang mencolok, tapi juga karena kepribadiannya yang tenang namun tegas.

Aku ingat saat kami pernah ditugaskan bersama ke Surabaya. Sebuah perjalanan kerja yang awalnya terasa biasa, tapi berubah menjadi kenangan yang melekat dalam ingatan. Glegar selalu memiliki cara untuk membuat semuanya terasa lebih ringan. Di tengah kesibukan yang serius, ada caranya tersenyum atau melontarkan komentar singkat yang langsung memecahkan ketegangan. Dan, tentu saja, rambut gondrongnya yang selalu tergerai rapi itu menjadi ciri khas yang membuatnya terlihat seolah-olah dia adalah seorang seniman yang tersesat di dunia birokrasi.

Saat itu, aku kagum pada bagaimana dia membawa dirinya. Dalam diskusi, Glegar memancarkan karisma yang sulit diabaikan. Rambut gondrongnya tidak membuatnya terlihat urakan, justru menambah kesan bahwa dia adalah seseorang yang memegang prinsip, seseorang yang percaya pada dirinya sendiri. Di tengah keheningan perjalanan pulang dari Surabaya, kami berbincang panjang tentang kehidupan dan bagaimana setiap orang punya jalan masing-masing yang harus dilalui.

Kini, jalan itu membawanya menjauh dari kami. Rasanya aneh membayangkan hari-hari ke depan tanpa kehadirannya. Tidak ada lagi obrolan santai tentang hal yang dia suka, sama seperti Nugie dan Mbak Yessie, kepergiannya meninggalkan ruang kosong di hati kami.

Namun, aku tahu, hidup tak pernah memberi kita ruang untuk berhenti terlalu lama. Kehilangan adalah bagian dari perjalanan. Seperti matahari yang tetap muncul meski malam terasa begitu panjang, aku tahu aku harus melangkah lagi. Ada tugas yang menunggu di kantor, ada senyum-senyum lain yang perlu kugapai, ada tanggung jawab yang harus kutuntaskan.

Nugie, Mbak Yessie, dan Glegar telah memulai perjalanan mereka di tempat baru, dan aku harus melanjutkan perjalananku di sini. Kanwil DJP Jawa Tengah II masih menjadi rumahku. Masih ada orang-orang baik yang bekerja keras bersama, masih ada canda dan tawa yang akan muncul di sela-sela kesibukan, meski dengan wajah-wajah yang berbeda.

Aku menyadari, persahabatan tak pernah benar-benar hilang. Jarak memang memisahkan, tapi kenangan tetap ada, dan komunikasi adalah jembatan yang selalu bisa dibangun. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tak akan membiarkan jarak menjadi alasan untuk melupakan. Nugie dengan kreativitasnya, Mbak Yessie dengan tingkah lucunya, dan Glegar dengan rambut gondrongnya yang berwibawa—mereka akan selalu menjadi bagian dari cerita hidupku, meski lembar-lembar berikutnya mungkin ditulis di tempat yang berbeda.

Senin nanti, aku akan datang ke kantor seperti biasa. Ruang kerja masih terasa kosong, seakan-akan belum menerima kenyataan bahwa ada tiga orang yang tidak akan kembali ke sana. 

Hidup terus berjalan, apapun yang terjadi. Hujan deras pun akhirnya reda, dan matahari yang tersembunyi semalam penuh akan mulai muncul di cakrawala. Aku tahu, akan ada hari-hari baru yang penuh kejutan, tantangan, dan kebahagiaan. Akan ada teman-teman baru, cerita baru, dan mungkin kehilangan baru di masa depan. Tapi semua ini adalah bagian dari perjalanan yang harus dijalani.

Hari ini adalah awal dari babak baru, bukan hanya bagi Nugie, Mbak Yessie, dan Glegar, tapi juga bagiku. Hidup terus berjalan, dan aku memilih untuk ikut berjalan bersamanya. Karena, seperti hujan yang reda, seperti angin yang berlalu, setiap akhir selalu membawa awal yang baru.