Kekuasaan, Kekerasan, dan Etika

Dalam sejarah Homo sapiens, kekuasaan dan kekerasan sering berjalan beriringan, tetapi keduanya tidak selalu bersumber dari kebutuhan, melainkan sering dari ego dan ketidakmampuan memahami batas-batas moralitas. Insiden di Mamuju, di mana tujuh polisi secara brutal mengeroyok seorang mahasiswa, mengingatkan kita pada dilema kuno: bagaimana kekuasaan yang seharusnya menjaga, justru berubah menjadi alat penghancur.

Bayangkan institusi seperti kepolisian, yang dalam evolusi masyarakat modern berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara untuk menciptakan keteraturan. Institusi ini adalah simbol dari monopoli kekerasan yang sah, sebuah konsep yang dirumuskan oleh Max Weber. Namun, sahnya monopoli ini tidak berarti bebas dari tanggung jawab etis. Sebaliknya, monopoli kekerasan membutuhkan kontrol yang luar biasa ketat untuk menghindari penyalahgunaan yang merusak kepercayaan kolektif.

Insiden di asrama mahasiswa itu bukan sekadar kasus pelanggaran hukum. Ia adalah manifestasi kecil dari fenomena global: bagaimana kekuasaan, ketika tidak dibatasi oleh nilai-nilai moral, cenderung berubah menjadi kekerasan yang membabi buta. Dua anggota polisi yang merasa “terluka harga dirinya” oleh teguran seorang mahasiswa muda, memanggil puluhan polisi untuk membalas dendam. Dalam logika Homo sapiens purba, ini bisa dianggap sebagai upaya mempertahankan hierarki—sebuah mekanisme evolusi untuk menjaga status dominan di kelompok. Tetapi dalam masyarakat modern yang mengklaim hidup berdasarkan hukum dan moralitas, tindakan ini adalah kegagalan besar.

Kegagalan ini tidak hanya individual. Ia adalah kegagalan sistemik. Dalam jaringan masyarakat yang saling terhubung, setiap individu adalah representasi dari sistem yang lebih besar. Ketika tujuh polisi bertindak di luar kendali, institusi Polri sebagai sistem secara tidak langsung juga “berbicara.” Masyarakat membaca pesan ini sebagai tanda bahwa etika dalam institusi tersebut rapuh, bahwa mekanisme pengawasan dan pendidikan moral di dalamnya belum cukup kuat untuk mencegah perilaku seperti ini.

Sejarah manusia menunjukkan bahwa masyarakat hanya bertahan dan berkembang jika ada rasa percaya antarindividu dan antara individu dengan institusi. Kepercayaan ini adalah bahan bakar yang memungkinkan kota-kota besar, negara-bangsa, bahkan sistem global bekerja. Tapi insiden seperti di Mamuju perlahan merusak fondasi itu. Apa yang terjadi jika manusia mulai kehilangan kepercayaan pada penjaga mereka? Jawabannya dapat kita lihat di berbagai negara gagal, di mana tidak ada lagi garis tegas antara hukum dan kekacauan.

Kapolda Sulawesi Barat meminta maaf. Ini adalah langkah yang baik, tetapi tidak cukup. Dalam masyarakat modern, permintaan maaf saja tidak pernah cukup. Apa yang dibutuhkan adalah pembenahan sistemik, evaluasi radikal, dan pengakuan bahwa kekerasan seperti ini bukanlah pengecualian, tetapi gejala dari sesuatu yang lebih dalam: budaya di mana kekuasaan seringkali tidak dimaknai sebagai amanah, melainkan hak istimewa untuk bertindak sewenang-wenang.

Apa yang bisa kita pelajari dari insiden ini? Bahwa dalam sejarah panjang kita sebagai spesies, kita telah berkali-kali terjebak oleh ego dan ilusi kekuasaan. Tetapi kemampuan Homo sapiens untuk belajar dari kesalahan juga luar biasa. Masa depan bergantung pada bagaimana kita, sebagai individu maupun sebagai institusi, memahami kembali hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab. Mungkin inilah saatnya kita bertanya: Apakah kita ingin terus hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh kekerasan, atau apakah kita siap mengakui bahwa kekuasaan tanpa etika hanyalah bentuk lain dari kekacauan?