Hari ini aku terbangun dengan mata berat. Rasanya seperti bangun untuk menghadapi perang yang tak pernah selesai. Langit di atas Surakarta menggantung rendah, seakan mendukung rasa lelahku. Bahkan mentari pun enggan bersinar penuh hari ini, bersembunyi di balik awan kelabu yang menebal. Aku berjalan keluar, menatap dunia yang terlihat sama seperti kemarin, namun terasa lebih sunyi, lebih lamban. Di kantor, jemariku bergerak di atas tuts komputer dengan ragu, seperti mereka pun lelah atas rutinitas yang tak pernah berubah.
Sepanjang hari, tubuhku berteriak ingin menyerah. Kaki yang pegal, punggung yang terasa seperti membawa beban seisi dunia, dan kepala yang tak hentinya berdengung, seolah-olah di dalamnya ada lebah-lebah kecil yang terperangkap dan mencari jalan keluar. Rasanya, kelelahan ini bukan sekadar fisik; ia telah merayap ke dalam pikiranku, membuat setiap tugas terasa seperti perjuangan yang mustahil.
Namun, di tengah rasa lelah yang pekat itu, ada hal-hal kecil yang membuatku tetap bertahan. Tawa lirih rekan-rekan kerja di sudut ruangan, percakapan singkat tentang rencana akhir pekan yang tak pernah benar-benar diwujudkan, dan secangkir kopi hitam yang diseduh seadanya di pantry kantor. Semua itu seperti pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang menemukan momen kecil yang membuat segalanya terasa lebih ringan.
Saat matahari mulai tenggelam, aku menatap keluar jendela. Langit berubah warna, dari abu-abu suram menjadi jingga hangat yang perlahan-lahan memberi ruang bagi malam. Di kejauhan, lampu-lampu kota mulai menyala, seperti bintang-bintang kecil yang terjatuh ke bumi. Dalam keheningan senja, aku merasa ada sesuatu yang membisikkan kepadaku: tidak apa-apa merasa lelah. Tidak apa-apa merasa kalah hari ini, karena esok akan datang membawa kesempatan baru.
Aku menghela napas panjang, membiarkan udara malam yang lembut meresap ke dalam paru-paruku. Kelelahan ini, pikirku, bukanlah tanda bahwa aku lemah, melainkan bukti bahwa aku telah berusaha. Dan meski tubuh ini terasa remuk, ada harapan kecil yang tetap menyala di sudut hatiku. Harapan bahwa suatu saat nanti, aku akan melihat kelelahan ini sebagai bagian dari cerita panjang yang indah, bagian dari perjuangan yang penuh arti.
Maka malam ini, aku memutuskan untuk berhenti sejenak, menutup lembar kerja, dan memejamkan mata. Esok, aku akan kembali melangkah. Karena aku tahu, hidup tidak pernah meminta kita untuk sempurna—ia hanya meminta kita untuk terus mencoba.