Membuka Keran Demokrasi

Sepanjang sejarah, kekuasaan sering kali didesain untuk menjadi eksklusif, terbatas pada sedikit pihak yang memiliki kendali atas proses pengambilan keputusan. Dalam konteks demokrasi modern, pengaturan seperti presidential threshold—yang membatasi jumlah kandidat presiden berdasarkan syarat tertentu—merupakan warisan sistem ini. Namun, jika kita memandang evolusi politik manusia dari perspektif sejarah panjang, ini adalah anomali, bukan norma.

Homo sapiens telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dan menciptakan struktur sosial yang memungkinkan inklusivitas. Ketika nenek moyang kita hidup dalam komunitas pemburu-pengumpul, mereka tidak mengenal hierarki yang menindas. Keputusan diambil secara kolektif, dengan melibatkan semua anggota kelompok yang relevan. Tidak ada seorang pun yang mendikte siapa yang layak memimpin berdasarkan “ambang batas.” Jika seseorang memiliki kemampuan atau ide yang layak, mereka diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya.

Namun, transisi menuju peradaban agraris mengubah segalanya. Kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang, dan hierarki menjadi hal yang tak terhindarkan. Hingga kini, banyak negara modern yang secara tidak sadar masih melanjutkan pola ini—menyembunyikan eksklusivitas di balik jargon demokrasi. Presidential threshold adalah salah satu contohnya. Ia tidak hanya membatasi pilihan rakyat, tetapi juga mereduksi hakikat dasar demokrasi: kedaulatan rakyat.

Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa presidential threshold bertentangan dengan konstitusi, ia bukan sekadar membatalkan satu pasal undang-undang. Lebih dari itu, keputusan ini adalah upaya untuk meretas jalan baru menuju demokrasi yang lebih inklusif. Sebuah sistem di mana rakyat dapat benar-benar menentukan nasib mereka tanpa dibatasi oleh konstruksi artifisial yang dirancang untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu.

Sejarah juga mengajarkan kita bahaya dari sistem yang terlalu sempit. Ketika pilihan dikurangi menjadi hanya dua kandidat, seperti yang sering terjadi dalam pemilu dengan threshold tinggi, polarisasi menjadi tak terhindarkan. Polarisasi ini tidak hanya memecah masyarakat; ia merusak jaringan sosial yang menjadi dasar keberlangsungan peradaban. Kita melihat bagaimana di negara-negara lain, pemilu yang hanya menyediakan dua pilihan sering kali berujung pada kebuntuan politik dan kekacauan sosial. Dalam jangka panjang, ini justru melemahkan institusi demokrasi itu sendiri.

Sebaliknya, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi banyak kandidat, masyarakat akan terdorong untuk berpikir lebih kritis dan membuka ruang dialog yang lebih sehat. Proses ini memang tidak sempurna dan mungkin menghasilkan “kegaduhan politik,” tetapi kegaduhan adalah harga kecil yang harus dibayar untuk menjaga kebhinekaan dan keadilan.

Mahkamah juga menyarankan rekayasa konstitusional untuk mencegah kelebihan jumlah pasangan calon. Ini adalah langkah cerdas yang menunjukkan bahwa demokrasi tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang terarah. Dengan membuka keran demokrasi, tetapi tetap mengelola jumlah kandidat secara proporsional, kita menciptakan keseimbangan antara inklusivitas dan efisiensi.

Jika kita ingin terus berkembang sebagai spesies yang mampu menciptakan dunia yang lebih adil dan merata, kita harus berani menggeser paradigma lama. Keputusan ini, meskipun terlihat teknis, sebenarnya adalah langkah besar dalam evolusi sosial-politik manusia. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi bukanlah tentang mempertahankan status quo, melainkan tentang keberanian untuk terus memperbaiki dan memperluas ruang partisipasi semua orang. Seperti nenek moyang kita yang berburu dan meramu bersama-sama, kita kembali diajak untuk melihat bahwa masa depan tidak dimonopoli oleh mereka yang berkuasa, tetapi dibangun oleh semua.