Mutasi

Setahun yang lalu, ketika angin laut berembus ringan dan langit memerah di ujung cakrawala, aku melangkahkan kaki meninggalkan tanah Kalimantan Selatan, sebuah wilayah yang telah menjadi rumahku selama delapan tahun. Bukan keputusan yang mudah. Waktu seperti membeku saat aku berkemas, menyelipkan sisa-sisa kehidupan yang pernah kutata di sana ke dalam koper tua. Kalimantan Selatan adalah lebih dari sekadar tempat bekerja bagiku; ia adalah dunia yang hidup, bernapas, dan penuh cinta.

Di atas kapal Dharma Lautan Utama, aku memulai perjalanan panjang menuju tempat baru—Surakarta. Kapal itu meliuk pelan di atas gelombang, seolah memahami beratnya hati ini meninggalkan tanah yang telah memberiku begitu banyak cerita. Sehari semalam aku menatap horizon, membiarkan pikiranku terseret jauh ke belakang, ke semua momen indah yang pernah kualami di sana. Ketika sore tiba dan kapal akhirnya merapat di Pelabuhan Surabaya, sebuah rasa asing menyelinap di dada. Kota baru menanti, dan aku harus menyiapkan diriku untuk mulai lagi.

Kalimantan Selatan, tempat aku mengabdi, bukan hanya lokasi geografis dalam peta kehidupanku, tetapi juga tempat jiwa dan ragaku tertambat. Barabai, Rantau, Kandangan, Banjarbaru, dan Martapura bukan sekadar nama kota. Mereka adalah bab-bab dari sebuah novel panjang, setiap kota dengan aromanya sendiri, dengan irama dan kehangatan yang khas. Aku mengingat Desa Natih di Hulu Sungai Tengah, di mana hutan hijau terhampar sejauh mata memandang, ditemani nyanyian aliran sungai kecil yang mengalir tanpa jeda.

Aku mengingat Siring Rantau di Tapin, sebuah tempat di mana senja mengajarkan keindahan kesederhanaan. Di sana, waktu melambat, seperti mendesakku untuk berhenti sejenak dan menghargai kehidupan. Loksado, di Hulu Sungai Selatan, adalah bab lain yang tak terlupakan. Kabut tebal di pagi hari, rintik hujan yang mendinginkan tanah, dan bambu-bambu yang bergemerisik lembut dihembus angin, semuanya terasa seperti puisi yang ditulis oleh alam.

Mess L di Banjarbaru adalah rumah keduaku, tempat aku berbagi cerita dan tawa. Pasar Intan di Martapura—ah, bagaimana aku bisa lupa? Kilauan batu permata yang tertata rapi di etalase-etalase kecil adalah cerminan dari semangat masyarakat di sana, yang tetap bersinar meski kehidupan kadang sulit. Dan, bagaimana mungkin aku melupakan Haul Sekumpul? Ribuan manusia dengan hati yang rindu, berkumpul dalam doa, menyanyikan zikir yang membubung ke langit. Aku selalu merasa seperti butiran pasir kecil yang terselip di antara gelombang manusia itu, namun hatiku penuh, penuh dengan ketenangan yang tak bisa diungkapkan kata-kata.

Kini, aku berada di Surakarta, kota yang mulai menumbuhkan akarnya di dalam hatiku. Kantorku di sekitar Stadion Manahan menjadi tempatku menjalani rutinitas baru. Setiap pagi, aku mengayuh sepeda dari rumahku di Colomadu menuju kantor yang berjarak sekitar 6 Kilometer, melintasi jalanan yang ramai dengan manusia-manusia penuh semangat. Orang-orang yang berolahraga di pagi dan sore hari adalah pemandangan yang selalu menginspirasiku—ada kekuatan dalam kesederhanaan mereka, dalam semangat yang terpancar di wajah mereka.

Di akhir pekan, aku mengisi waktu dengan menjelajahi kota ini. Lokananta, studio musik legendaris yang menyimpan jejak-jejak emas seni Indonesia, mengajakku merasakan kehangatan masa lalu. Pasar Malam Ngarsopuro, dengan gemerlap lampu-lampunya, memancarkan suasana magis yang tak tertandingi. Di Pasar Gedhe, aroma rempah-rempah bercampur tawa pedagang menjadi simfoni yang menggetarkan hati.

Jalan Slamet Riyadi di pagi hari saat Car Free Day adalah tempat di mana aku menyaksikan manusia-manusia merayakan kehidupan. Jalan Gatot Subroto di malam hari, dengan kerlap-kerlip lampunya, menawarkan kedamaian yang diam-diam mengajakku untuk merenung. Di Taman Sriwedari, aku sering memberi makan rusa-rusa yang jinak, sementara Taman Balekambang dengan pepohonan rindangnya menjadi tempatku mengistirahatkan paru - paru.

Kadang aku menyempatkan diri menjelajah ke kota-kota sekitar. Sragen yang tenang seperti halaman kosong di buku harian, tempat aku bisa mencoretkan pikiran-pikiran baru. Boyolali, dengan patung sapi raksasanya di alun-alun, terasa begitu hidup, seperti mengingatkan bahwa kekuatan berasal dari akar budaya yang kokoh. Tawangmangu di Karanganyar mengingatkanku pada kabut Loksado, dengan udara dingin yang menyentuh kulit dan menyejukkan hati. Wonogiri, dengan jalan-jalan naik turunnya, adalah tempat di mana aku merasakan dinamika kehidupan yang tak pernah datar.

Dan tentu saja, Sukoharjo, tempat aku dilahirkan. Tidak peduli sejauh apa aku pergi, Sukoharjo adalah tempat di mana aku selalu merasa pulang

Setahun berlalu. Aku masih belajar mencintai Surakarta seperti aku mencintai Kalimantan Selatan. Setiap tempat punya cerita, dan setiap cerita punya ruang di hatiku. Hidup ini, seperti perjalanan sepeda yang kutempuh setiap hari, penuh dengan tikungan, tanjakan, dan jalan lurus yang panjang. Aku hanya bisa terus mengayuh, menikmati setiap napas, setiap detik, karena aku tahu bahwa semua ini, pada akhirnya, adalah bagian dari perjalanan panjangku menuju makna.

Setiap perjalanan menyimpan pesan-pesan tersembunyi. Seperti perjalanan dari Kalimantan Selatan ke Surakarta ini, aku mulai memahami bahwa perubahan bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru. Setiap tempat yang pernah aku tinggali meninggalkan jejaknya, tidak hanya di ingatan, tetapi juga di cara pandangku terhadap hidup.

Di Surakarta, aku belajar mengenal ulang diriku. Kota ini, dengan irama yang berbeda dari Kalimantan Selatan, mengajarkanku untuk bergerak lebih pelan, memperhatikan hal-hal kecil yang sering terlupakan. Di setiap kayuhan sepeda menuju kantor, aku seperti melatih diriku untuk tetap hadir di saat ini. Ada sesuatu yang menenangkan ketika aku menyusuri jalanan sekitar Stadion Manahan, terutama saat pagi hari ketika udara masih segar, dan sinar matahari mengintip malu-malu dari balik dedaunan.

Rutinitas baru ini, meskipun berbeda, memberiku ruang untuk merenung. Di sela-sela kesibukan, aku sering duduk melamun sendiri di taman-taman kota, menyaksikan bagaimana orang-orang menjalani hidup mereka. Ada sesuatu yang memikat dalam kesederhanaan warga Surakarta. Mereka tampak bahagia dengan hal-hal kecil—bermain dengan anak-anak di taman, berbincang santai di angkringan, atau sekadar duduk di tepi jalan menikmati sore.

Kadang, aku teringat saat-saatku di Kalimantan Selatan. Ada kerinduan yang sulit didefinisikan, terutama ketika aku membayangkan senja di Loksado atau riuhnya Haul Sekumpul. Namun, aku sadar bahwa kenangan itu bukan untuk diratapi. Ia adalah harta karun yang aku bawa ke mana pun aku pergi. Surakarta, dengan segala pesonanya, kini mulai menyulam kenangan baru di hidupku.

Aku ingat suatu hari, ketika aku mengunjungi Tawangmangu lagi setelah sekian lama tidak kesana. Udara dingin menyambutku seperti sahabat lama. Kabut yang menggantung rendah di antara pepohonan mengingatkanku pada pagi-pagi di Kalimantan, ketika aku sering berdiri di tepi sungai, menyeruput kopi hangat sambil memandangi aliran sungai yang tenang. Di Tawangmangu, aku menemukan kesamaan yang menenangkan, seolah alam ingin memberitahuku bahwa aku tidak pernah benar-benar jauh dari rumah.

Begitu pula saat aku berkunjung ke Sragen. Kota kecil yang tenang itu memiliki suasana yang begitu damai, seperti pelukan lembut yang menenangkan hati. Aku berjalan-jalan di sepanjang jalan yang sepi, menikmati keheningan yang langka di kota-kota besar. Ada momen-momen di mana aku merasa seperti satu-satunya manusia di dunia, namun anehnya, rasa kesepian itu tidak pernah menggangguku. Justru di sana, aku menemukan diriku merasa lebih dekat dengan Tuhan.

Boyolali, dengan patung sapi raksasanya yang ikonik, memberiku pelajaran lain. Saat aku berdiri di alun-alun, menatap patung itu, aku merenungkan makna kerja keras dan keberanian. Kehidupan di Boyolali terasa membumi, penuh perjuangan tetapi juga kebahagiaan sederhana yang murni.

Dan ketika aku kembali ke Sukoharjo, tempat aku dilahirkan, ada rasa yang sulit dijelaskan. Sukoharjo bukan hanya tempat, melainkan bagian dari identitasku. Di sana, aku berjalan-jalan melewati jalanan yang pernah kutempuh di masa kecil, mencoba menghidupkan kembali ingatan-ingatan yang mungkin sudah memudar.

Aku teringat rumah masa kecilku, sebuah bangunan sederhana yang dulu penuh dengan tawa keluarga. Kini, warna cat rumah itu mungkin telah berubah, tetapi kenangan yang hidup di dalamnya tetap utuh. Aku ingat suara ibu yang memanggil dari dapur, aroma masakan yang selalu membuatku tak sabar menunggu waktu makan, dan suara bapak yang bercerita tentang kehidupan, penuh dengan petuah sederhana namun mendalam.

Semua perjalanan ini mengajarkanku bahwa hidup adalah tentang menerima. Menerima perubahan, menerima kehilangan, dan menerima kebahagiaan yang datang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Kalimantan Selatan telah memberiku kenangan yang luar biasa, dan Surakarta kini memberiku peluang untuk menciptakan cerita baru.

Di setiap langkah, di setiap kayuhan sepeda, aku mencoba membawa semangat Kalimantan ke tanah Jawa. Aku ingin menjadi bagian dari kota ini, seperti aku pernah menjadi bagian dari Kalimantan Selatan. Aku percaya, pada akhirnya, tidak peduli di mana aku berada, selama aku membawa cinta dan kenangan di dalam hati, aku selalu berada di rumah.

Dan mungkin, itulah arti sebenarnya dari perjalanan: bukan tentang tempat yang kita tinggalkan atau yang kita tuju, tetapi tentang bagaimana kita tumbuh di sepanjang jalan. Aku belajar, bahwa rumah sejati ada di dalam diriku sendiri—di dalam setiap kenangan, setiap doa, dan setiap rasa syukur yang terus bergetar di hatiku.

Aku bahkan belum membahas tentang makanan di Surakarta—Soto Triwindu yang segar, sarapan Sate Kambing, Tahu Kupat yang tidak ku temui di Kalimantan Selatan, dan serabi Notosuman yang manisnya tak pernah mengecewakan. Atau tentang keindahan pantai selatan yang tak jauh dari sini, di mana ombak besar bergulung-gulung seolah memeluk cakrawala.

Namun, aku tahu, tulisan yang terlalu panjang, meskipun sarat kenangan dan rasa, tetap saja tidak nikmat untuk dibaca. Jadi, biarlah sebagian kisah ini kusimpan di hatiku—seperti bumbu rahasia dalam masakan—agar esok lusa, ketika aku mengenang semua ini, rasanya tetap hangat, sama seperti hari pertama aku tiba di sini.