Semesta Kecilku

Pagi baru saja dimulai, dan Iliana, anakku yang baru berumur dua tahun, sudah bersiap dengan semangatnya yang tak tertandingi. Rambutnya yang berantakan membuatnya tampak seperti seorang penjelajah kecil yang baru bangun dari mimpi tentang dunia penuh petualangan. Ia berdiri di depan pintu, menggenggam sandal mungilnya sambil menatapku dengan senyum yang tak mungkin kutolak.

“Ayo, Bapak. Jalan-jalan!” suaranya seperti lonceng kecil yang membangkitkan segala semangat di dalam diriku.

Aku mengajaknya mengambil laundry terlebih dahulu. Bagi orang dewasa, ini hanya rutinitas biasa, tapi bagi Iliana, segalanya adalah petualangan. Di tempat laundry di dekat Lapangan Mantren, ia berjalan kecil-kecil di antara tumpukan pakaian yang terbungkus rapi. Ia menunjuk-nunjuk plastik transparan berisi baju, seolah-olah menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum melihat dunia dari matanya. Di parkiran, ia menemukan genangan kecil bekas hujan semalam dan melompat-lompat di atasnya dengan riang. Aku tak punya hati untuk melarangnya.

Aku mampir ke tukang sol sepatu. Bapak tukang sol itu duduk di bawah atap kios di pinggir jalan, sibuk dengan pekerjaannya, sementara Iliana mendekat dengan penuh percaya diri.

“Halo Om, namaku Iliana!” suaranya melengking penuh semangat. Aku, yang sedang menyerahkan sandal kepada bapak tukang sol, hanya bisa terkekeh. Iliana melanjutkan dengan gaya khasnya, “Rumahku Colomadu, Bapakku Satya.”

Tukang sol itu tertawa kecil, wajahnya yang lelah tampak melunak oleh keramahan Iliana. Ia menjawab, “Wah, Iliana pintar sekali, ya.”

Iliana tersenyum lebar, matanya berbinar seperti menyadari bahwa ia telah membuat orang lain senang. Iliana mengucapkan salam dengan riang, “Dadah, Om! Terima kasih, ya!” Aku merasa kecil hati, menyadari bahwa Iliana jauh lebih ramah dan tulus dibanding aku.

Setelah itu, aku memutuskan untuk mencuci mobil. Kami berhenti di tempat cuci mobil langganan, dan Iliana langsung terpikat oleh buih sabun yang mengalir dari atap mobil. Ia tertawa melihat busa-busa itu beterbangan, seperti salju di negeri dongeng. Saat air dari selang menyembur dengan deras, ia bertepuk tangan, matanya berbinar-binar seolah menyaksikan pertunjukan sulap terbaik dalam hidupnya. Aku hanya bisa tertawa, menyadari bahwa hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi momen besar di matanya.

Siang mulai merangkak naik, dan aku tahu perut kecilnya pasti sudah lapar. Sembari menunggu mobil selesai dicuci, kami pergi ke SFA Steak and Resto Klodran di sebelahnya, Iliana sudah tak sabar, menyeruak masuk dan langsung memesan, meskipun ia belum bisa melafalkan nama makanan itu dengan benar. Aku menyuapinya perlahan, sementara ia menggenggam garpu kecil dan berusaha menyendok nasi sendiri. Ketika ia akhirnya berhasil memasukkan sesuap nasi dan potongan lele ke mulutnya, ia berseru, “Enak, Bapak, enak buntut lelenya!”

Aku tersenyum lebar. Tak ada yang lebih memuaskan hati seorang bapak daripada melihat anaknya menikmati makanan dengan penuh rasa syukur. Kami selesai makan, dan Iliana mengelap mulutnya sendiri dengan tisu. Ia tampak bangga, seperti telah menaklukkan satu tantangan besar dalam hidupnya.

Sebelum pulang, aku mengajaknya mampir ke Alfamidi Klodran untuk membeli es krim. Baginya, Alfamidi bukan hanya tempat belanja, tapi semacam istana penuh keajaiban. Ia berjalan melewati lorong-lorong dengan langkah kecilnya yang penuh antusiasme, hingga akhirnya berhenti di depan freezer es krim. Dengan hati-hati, ia memilih es krim rasa cokelat vanila strawberry, menggenggamnya erat-erat seperti benda paling berharga di dunia.

Malam hari, saat langit berwarna gelap, kami memutuskan pergi ke sebuah toko sepatu. Aku berniat membelikannya sepatu lari, tapi Iliana punya rencana lain. Matanya langsung tertuju pada sepasang sepatu kecil yang berkelip—sepatu blink-blink. “Mau ini!” katanya dengan penuh keyakinan, memeluk sepatu itu erat-erat.

Dari toko sepatu, kami melanjutkan perjalanan ke Kemlayan Street Food. Aroma telur gulung, cilok, dan gorengan memenuhi udara, memanggil siapa saja yang lewat untuk mampir. Iliana memandang takjub pada semua penjual makanan di sana. Aku membelikannya camilan kecil, dan kami duduk di pinggir jalan, menikmati keramaian. Ia memakan camilannya sambil tertawa kecil, menatap orang-orang yang berlalu-lalang dengan rasa ingin tahu yang tak ada habisnya.

Malam semakin larut, tapi aku tahu Iliana masih ingin menikmati petualangan ini. Kami berjalan kaki di sepanjang Jalan Gatot Subroto, di mana lampu jalanan memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan indah di trotoar. Di sana, sekelompok musisi jalanan sedang memainkan alat musik mereka, menyanyikan lagu-lagu lama yang nadanya tak selalu sempurna. Tapi bagi Iliana, nada itu cukup untuk membuatnya tersenyum dan bertepuk tangan.

Ia bahkan bergoyang kecil, mengikuti irama yang mungkin hanya ia yang benar-benar mengerti. Aku tertawa, merasa bahwa setiap detik bersama anakku adalah hadiah yang tak ternilai.

Sebelum pulang, kami mampir membeli bakso untuk dibawa pulang. Di rumah, kami duduk di lantai ruang tengah, menyantap bakso hangat bersama. Iliana menggigit kecil baksonya dengan gaya khasnya—menggunakan sendok kecil sambil sesekali menyeruput kuah dengan penuh semangat.

Hari ini sederhana, tapi di dalamnya terdapat kebahagiaan yang tak terukur. Iliana, dengan segala keajaiban kecil yang ia ciptakan, membuatku merasa bahwa dunia ini tidak pernah kekurangan keindahan. Ia adalah matahari kecil yang membuat segalanya tampak lebih cerah, bahkan dalam momen-momen paling biasa sekalipun. Di sisinya, aku bukan hanya seorang bapak, tapi juga seorang pelancong dalam dunia penuh warna yang diciptakannya.

Dan malam ini, saat ia tertidur di pelukanku dengan nafas kecil yang tenang, aku tahu bahwa hari ini akan selalu menjadi cerita yang kusimpan di sudut hatiku, selama-lamanya.