Tidak Sumringah

Hari ini, di tengah suasana hangat Sumringah Resto dan Lesehan, aku melangkah masuk ke acara Forum Pelaksana Kanwil DJP Jawa Tengah II. Meski meja-meja telah dipenuhi tumpukan piring dan obrolan ringan, ada sesuatu yang menggantung di udara yang bercampur dengan kepulan asap rokok Pak Agus—perasaan bahwa ini adalah pertemuan terakhir kami dengan beberapa teman yang akan segera melangkah ke babak baru dalam hidup mereka.

Acara ini adalah tentang perpisahan, momen yang selalu menghadirkan campuran rasa. Di satu sisi, ada kebahagiaan melihat mereka melangkah menuju peluang yang lebih besar, tetapi di sisi lain, ada kesedihan yang sulit dijelaskan, seolah-olah sebuah ruang kosong mulai terbentuk di hati kami.

Aku memandang Nugie, yang akan pindah ke KPP Pratama Boyolali. Nugie adalah orang yang tak pernah lelah membantu, seseorang yang selalu sigap saat kita butuh pertolongan. Rasanya ia adalah sosok yang selalu tahu kapan seseorang sedang kesulitan, dan dengan tulus menawarkan bantuan tanpa pamrih. Jika pekerjaan kantor adalah sebuah roda besar yang terus berputar, maka Nugie adalah oli yang memastikan semuanya berjalan dengan mulus. Ketika ia berbicara tentang kepindahannya, nada suaranya terdengar ringan, seperti seseorang yang sudah siap menghadapi petualangan baru. Tetapi di balik itu, aku bisa menangkap ada rasa khawatir—bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk teman-teman yang ia tinggalkan. Nugie adalah tipe orang yang memikirkan orang lain lebih dulu sebelum dirinya sendiri.

Lalu ada Mbak Yessie, yang akan menuju KPP Pratama Karanganyar. Bagiku, Mbak Yessie bukan sekadar rekan kerja; dia adalah kakak ideologisku, seseorang yang selalu memiliki sudut pandang unik dalam melihat dunia. Tingkah lakunya seringkali sulit ditebak—kadang aneh, kadang menggelikan, tapi selalu memancarkan keceriaan. Di antara semua yang hadir, Mbak Yessie adalah yang paling banyak berbicara. Ia bisa menghubungkan begitu banyak hal yang, entah bagaimana, selalu kembali ke topik mutasi ini. Kadang hal-hal yang ia katakan terasa acak, bahkan berlebihan dan kesana - kemari, tapi jika didengarkan dengan saksama, sering kali ada benarnya juga. Dengan caranya yang khas, ia memberikan perspektif baru tentang perubahan ini—sesuatu yang membuatku berpikir bahwa mungkin ada lebih banyak cerita di balik kepindahan ini daripada yang terlihat di permukaan.

Kemudian Glegar, yang juga akan menuju KPP Pratama Karanganyar. Glegar adalah orang yang tenang, seseorang yang jarang berbicara kecuali kata-katanya benar-benar penting. Ia adalah sosok yang membawa keseimbangan, seperti batu besar yang kokoh di tengah arus sungai. Dalam percakapan kami, ia berbicara dengan nada bijaksana, memberikan kesan bahwa ia telah memikirkan segala hal dengan hati-hati sebelum mengambil keputusan. Glegar adalah tipe orang yang membuat kita merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja, hanya dengan keberadaannya. Ketika ia berbicara tentang rencananya di tempat baru, ada rasa optimisme yang tenang, seperti sinar matahari pagi yang perlahan-lahan menyinari tanah.

Dan akhirnya, ada Mbak Hangga, yang akan melangkah ke KPP Pratama Surakarta. Dari semua yang hadir di acara ini, dia mungkin yang paling sedih. Saat ia mencoba berbicara, kata-katanya tersendat—seperti ada sesuatu yang besar di dadanya, sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Aku tahu ia berusaha keras menahan tangis, tetapi air matanya tak bisa disembunyikan sepenuhnya. Mbak Hangga adalah tipe orang yang mencintai sepenuhnya, baik pekerjaannya maupun orang-orang di sekitarnya. Baginya, perpisahan bukan hanya akhir, tetapi juga rasa kehilangan yang dalam. Ketika ia akhirnya mengucapkan beberapa kalimat perpisahan, suaranya bergetar, tetapi justru di situlah kejujuran dan ketulusan hatinya terlihat jelas.

Hari ini adalah tentang perpisahan, tapi juga tentang harapan. Ada keindahan yang aneh dalam momen ini, seperti rasa manis yang muncul di tengah pahitnya teh. Kami tahu bahwa hidup terus bergerak, membawa kami ke tempat-tempat yang tak terduga, tetapi meninggalkan jejak yang tak pernah hilang di hati.

Selain itu, ada juga teman-teman baru yang datang. Hampir semuanya belum aku kenal. Aku jadi bingung ketika mereka masuk ke grup WhatsApp. Tak satu pun dari mereka memperkenalkan diri, jadi aku tidak tahu siapa mereka dan bagaimana harus menyimpan nomor mereka, bahkan ada yang namanya Candra yang saking miripnya menurutku dengan Mbak Candra yang sudah lama di Jateng II, aku pernah salah sangka dia adalah Mbak Candra. Tapi pengecualian untuk Linda—itu pun aku tahu karena sebuah kebetulan. Aku lupa absen dan harus mengurusnya melalui Linda. Kesan pertamaku, aku bersyukur bertambah lagi orang di kantor seperti Linda, dari beberapa kalimat saja percakapan kami, aku merasa ada rasa pedulinya yang tinggi ke pegawai lainnya. Namun lagi - lagi, rasanya bingung memiliki orang-orang baru yang namanya bahkan belum aku kenali, tapi mungkin ini juga bagian dari cerita baru yang akan segera dimulai.

Ketika acara berakhir dan kami saling berpamitan, aku merasa ada sesuatu yang berubah—bukan hanya karena mereka yang pergi, tetapi juga karena kami yang tinggal. Kehidupan, seperti cerita yang tak pernah selesai, terus bergulir, menyusun bab baru dengan karakter yang terus berganti.