Di tengah terik matahari siang yang membakar jalanan Banjarnegara, aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, menyerap aroma hangat yang memenuhi udara—aroma cilok Pasundan yang menjadi favoritku, seperti kenangan yang tersimpan rapat di sudut hati, bercampur dengan debu jalanan dan suara riuh kendaraan yang lewat. Gerobak biru tua itu berdiri kokoh di pinggir trotoar, roda-roda besinya yang sudah usang, bercorak karat di sudut-sudut namun penuh cerita, berderit pelan diterpa angin sepoi-sepoi yang membawa debu halus dan aroma rumput liar dari kebun di kejauhan. Cat biru pada badan gerobak mulai mengelupas, menampakkan kayu tua di baliknya, tapi tulisan merah “Cilok Pasundan” tetap menyala terang, seolah menjadi beacon kecil bagi perut lapar dan jiwa yang rindu, sebuah tanda kehidupan sederhana yang tak pernah padam di tengah hiruk-pikuk kota kecil ini.
Pria berusia paruh baya itu—dengan topi putih yang lusuh, ujungnya compang-camping karena terlalu lama terkena matahari, kemeja kotak-kotak biru muda yang sudah basah oleh keringat, menempel di punggungnya, dan selempang hitam melintang di dadanya, menandakan perjalanan panjang sebagai pedagang keliling—bekerja dengan penuh konsentrasi. Tangannya yang kasar, penuh bekas luka dari hari-hari bertahun-tahun berjuang, kini sibuk membungkus cilok panas dalam plastik bening yang licin, memasukkan bumbu-bumbu sederhana dengan hati-hati: saus kecap cokelat yang kental, saus sambal merah yang menyengat, dan sedikit atom bulan serta bubuk cabe yang memberikan sensasi pedas gurih yang khas. Di atas tungku aluminium yang sudah kusam, uap panas naik dari panci berlapis logam yang berkilau samar, membawa aroma tepung kanji, bawang putih, dan bumbu rempah seperti jahe dan kunyit yang menyatu, menggoda indra seperti lagu nostalgia yang tak pernah pudar, membangkitkan kenangan tentang hari-hari sederhana di masa lalu.
Aku berdiri di depan gerobak, menatap botol-botol kecil berisi saus dan kecap berjejer rapi di samping, tutupnya berwarna biru, merah, dan pink, seolah menyimpan rahasia rasa yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah mencicipi cilok Pasundan ini, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Tusuk-tusuk bambu kecil tersusun rapi di samping, terbungkus dalam gelas plastik, menunggu untuk menembus bulatan-bulatan cilok yang lembut, kenyal, dan hangat, siap meluncur ke mulut yang rindu akan rasa pedas manis yang khas. Di balik jendela kecil gerobak, tumpukan cilok mentah terlihat, putih bersih seperti salju kecil, menunggu giliran direbus hingga empuk, penuh dengan cinta seorang pedagang yang telah menjalani hidup sederhana namun penuh makna, dengan setiap butir tepung kanji membawa cerita perjuangan.
Cilok Pasundan ini bukan sekadar makanan—ia seperti cerita hidup yang terbungkus dalam setiap gigitan, sebuah puisi sederhana yang ditulis oleh tangan-tangan kasar namun penuh kasih sayang. Aku membayangkan perjalanan panjang pria itu, dari sudut desa kecil di Tasikmalaya Jawa Barat, melewati bukit-bukit hijau dan sungai-sungai kecil, hingga ke Banjarnegara, membawa resep turun-temurun yang kini menjadi bagian dari jalanan kota kecil ini, menyatukan rasa dan cerita dalam setiap tusuk. Di latar belakang, bangunan-bangunan sederhana dengan dinding abu-abu dan tanda PMR di tembok sekolah SDN 1 Krandegan menunjukkan kehidupan biasa, penuh dengan orang-orang biasa, tapi gerobak biru itu berdiri sebagai saksi bisu perjuangan, harapan, dan cita-cita sederhana seorang manusia yang tak pernah menyerah, meski roda gerobaknya berderit dan catnya mengelupas.
Ketika aku menerima cilok yang masih hangat, uapnya menyelimuti wajahku, membawa aroma yang hangat dan familiar, aku merasa seperti kembali ke masa kecil, ketika hidup terasa sederhana dan penuh tawa, duduk di pinggir sawah bersama temanku, menikmati makanan sederhana yang penuh cinta. Rasa pedas manis dari saus kecap dan sambal, ditambah sensasi pedas gurih dari atom bulan dan bubuk cabe, meledak di lidah, membawa kenangan tentang perjalanan. Cilok Pasundan ini, di tengah Banjarnegara yang ramai namun hangat, menjadi lebih dari sekadar camilan—ia menjadi bagian dari jiwaku, seperti halnya kisah-kisah kecil yang tersimpan dalam setiap sudut hidup, menunggu untuk ditemukan, dirasakan, dan dikenang, sebagai bukti bahwa kebahagiaan terbesar seringkali tersembunyi dalam kesederhanaan.
Setelah menikmati cilok yang hangat, aku tak bisa menahan diri untuk berbagi rasa kagum yang menggelegak di hati. Dengan suara penuh semangat, aku menoleh ke pria berusia paruh baya itu, yang masih sibuk mengaduk saus sambal di gerobak birunya, dan berkata, “Pak, ini adalah cilok terenak yang pernah aku makan. Rasa saus sambal, atom bulan, dan bubuk cabe-nya bikin lidah bergetar, bikin hati kangen Banjarnegara. Setiap kali aku ke Banjarnegara, aku selalu mampir dan membeli cilok ini—ini sudah seperti ritual buatku, bagian dari perjalanan yang nggak bisa aku lewatin.”
Pria itu berhenti sejenak, tangannya yang kasar menggantung di udara, memegang sendok kayu kecil. Matanya berbinar, seolah kata-kataku membawa cahaya baru di tengah hari yang terik. Bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman bangga yang lebar, menampakkan garis-garis wajah yang menceritakan perjalanan panjang hidupnya. Senyum itu bukan sekadar tanda syukur, tapi juga ungkapan rasa terima kasih yang tak terucapkan, seolah setiap tusuk cilok yang kujajan tadi membawa hidupnya lebih bermakna. Topi putihnya sedikit miring, kemeja kotak-kotaknya tampak lebih cerah di bawah sinar matahari, dan untuk sesaat, gerobak biru itu terasa seperti istana kecil di tengah Banjarnegara, penuh dengan kebanggaan sederhana namun mendalam.
Pria berusia paruh baya itu—dengan topi putih yang lusuh, ujungnya compang-camping karena terlalu lama terkena matahari, kemeja kotak-kotak biru muda yang sudah basah oleh keringat, menempel di punggungnya, dan selempang hitam melintang di dadanya, menandakan perjalanan panjang sebagai pedagang keliling—bekerja dengan penuh konsentrasi. Tangannya yang kasar, penuh bekas luka dari hari-hari bertahun-tahun berjuang, kini sibuk membungkus cilok panas dalam plastik bening yang licin, memasukkan bumbu-bumbu sederhana dengan hati-hati: saus kecap cokelat yang kental, saus sambal merah yang menyengat, dan sedikit atom bulan serta bubuk cabe yang memberikan sensasi pedas gurih yang khas. Di atas tungku aluminium yang sudah kusam, uap panas naik dari panci berlapis logam yang berkilau samar, membawa aroma tepung kanji, bawang putih, dan bumbu rempah seperti jahe dan kunyit yang menyatu, menggoda indra seperti lagu nostalgia yang tak pernah pudar, membangkitkan kenangan tentang hari-hari sederhana di masa lalu.
Aku berdiri di depan gerobak, menatap botol-botol kecil berisi saus dan kecap berjejer rapi di samping, tutupnya berwarna biru, merah, dan pink, seolah menyimpan rahasia rasa yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah mencicipi cilok Pasundan ini, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku. Tusuk-tusuk bambu kecil tersusun rapi di samping, terbungkus dalam gelas plastik, menunggu untuk menembus bulatan-bulatan cilok yang lembut, kenyal, dan hangat, siap meluncur ke mulut yang rindu akan rasa pedas manis yang khas. Di balik jendela kecil gerobak, tumpukan cilok mentah terlihat, putih bersih seperti salju kecil, menunggu giliran direbus hingga empuk, penuh dengan cinta seorang pedagang yang telah menjalani hidup sederhana namun penuh makna, dengan setiap butir tepung kanji membawa cerita perjuangan.
Cilok Pasundan ini bukan sekadar makanan—ia seperti cerita hidup yang terbungkus dalam setiap gigitan, sebuah puisi sederhana yang ditulis oleh tangan-tangan kasar namun penuh kasih sayang. Aku membayangkan perjalanan panjang pria itu, dari sudut desa kecil di Tasikmalaya Jawa Barat, melewati bukit-bukit hijau dan sungai-sungai kecil, hingga ke Banjarnegara, membawa resep turun-temurun yang kini menjadi bagian dari jalanan kota kecil ini, menyatukan rasa dan cerita dalam setiap tusuk. Di latar belakang, bangunan-bangunan sederhana dengan dinding abu-abu dan tanda PMR di tembok sekolah SDN 1 Krandegan menunjukkan kehidupan biasa, penuh dengan orang-orang biasa, tapi gerobak biru itu berdiri sebagai saksi bisu perjuangan, harapan, dan cita-cita sederhana seorang manusia yang tak pernah menyerah, meski roda gerobaknya berderit dan catnya mengelupas.
Ketika aku menerima cilok yang masih hangat, uapnya menyelimuti wajahku, membawa aroma yang hangat dan familiar, aku merasa seperti kembali ke masa kecil, ketika hidup terasa sederhana dan penuh tawa, duduk di pinggir sawah bersama temanku, menikmati makanan sederhana yang penuh cinta. Rasa pedas manis dari saus kecap dan sambal, ditambah sensasi pedas gurih dari atom bulan dan bubuk cabe, meledak di lidah, membawa kenangan tentang perjalanan. Cilok Pasundan ini, di tengah Banjarnegara yang ramai namun hangat, menjadi lebih dari sekadar camilan—ia menjadi bagian dari jiwaku, seperti halnya kisah-kisah kecil yang tersimpan dalam setiap sudut hidup, menunggu untuk ditemukan, dirasakan, dan dikenang, sebagai bukti bahwa kebahagiaan terbesar seringkali tersembunyi dalam kesederhanaan.
Setelah menikmati cilok yang hangat, aku tak bisa menahan diri untuk berbagi rasa kagum yang menggelegak di hati. Dengan suara penuh semangat, aku menoleh ke pria berusia paruh baya itu, yang masih sibuk mengaduk saus sambal di gerobak birunya, dan berkata, “Pak, ini adalah cilok terenak yang pernah aku makan. Rasa saus sambal, atom bulan, dan bubuk cabe-nya bikin lidah bergetar, bikin hati kangen Banjarnegara. Setiap kali aku ke Banjarnegara, aku selalu mampir dan membeli cilok ini—ini sudah seperti ritual buatku, bagian dari perjalanan yang nggak bisa aku lewatin.”
Pria itu berhenti sejenak, tangannya yang kasar menggantung di udara, memegang sendok kayu kecil. Matanya berbinar, seolah kata-kataku membawa cahaya baru di tengah hari yang terik. Bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman bangga yang lebar, menampakkan garis-garis wajah yang menceritakan perjalanan panjang hidupnya. Senyum itu bukan sekadar tanda syukur, tapi juga ungkapan rasa terima kasih yang tak terucapkan, seolah setiap tusuk cilok yang kujajan tadi membawa hidupnya lebih bermakna. Topi putihnya sedikit miring, kemeja kotak-kotaknya tampak lebih cerah di bawah sinar matahari, dan untuk sesaat, gerobak biru itu terasa seperti istana kecil di tengah Banjarnegara, penuh dengan kebanggaan sederhana namun mendalam.
Dia mengangguk perlahan, suaranya rendah namun hangat, “Terima kasih, mas.” Senyumnya semakin lebar, dan aku bisa melihat kilauan di matanya, seperti embun pagi yang menempel di daun kelapa—murni, jujur, dan penuh harap. Di sekitar, suara kendaraan dan langkah kaki orang lewat memudar, meninggalkan hanya momen kecil ini, di mana cilok Pasundan bukan lagi sekadar makanan, melainkan jembatan yang menyatukan dua jiwa dalam rasa dan cerita. Aku merasa, di balik setiap gigitan cilok itu, ada perjuangan, cinta, dan harapan yang tak pernah padam.