Di bawah sinar matahari pagi yang menyelinap melalui jendela mobil, Iliana duduk kecil di kursi depan, tubuhnya mungil dalam sweater abu-abu berbunga kuning yang lembut, seolah membawa kehangatan di tengah kepenatan perjalanan. Rambut cokelatnya berantakan, basah oleh keringat dan air mata, bergoyang lembut saat mobil bergetar di jalan berbatu di Banjarnegara. Wajahnya merona, pipi pucat membesar oleh tangisan yang tak henti, mulut kecilnya terbuka lebar mengeluarkan suara lirih namun penuh emosi, seperti nyanyian duka seorang anak yang kehilangan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Iliana, anak kecil yang baru belajar menapakkan dunia, duduk sendirian di kursi depan, tangannya kecil memegang erat sebuah mainan kecil berwarna merah yang hampir hilang warnanya, seolah itu adalah jangkar terakhir dalam lautan emosi yang mengguncangnya. Nana, tak ikut ke Alfamart—dan itulah yang membuat Iliana menangis, matanya yang bulat dan cemerlang kini basah oleh air mata yang merekah seperti embun pagi di daun talas. Anting kecil berwarna pelangi di telinganya bergoyang, menyerap cahaya matahari yang masuk melalui kaca mobil, seolah menjadi saksi bisu dari setiap isak tangisnya. Di luar, lanskap hijau perlahan berganti dengan pemandangan pedesaan yang hijau, rumah-rumah sederhana dengan dinding biru dan pohon mangga yang bergoyang di angin pagi, tapi Iliana tak peduli—dunianya kini hanya penuh dengan tangis yang tak bisa dihentikan.
Aku, yang mengemudikan mobil tua itu, mendengar setiap derai tangisnya seperti lagu melankolis yang menusuk hati. Kain batik berwarna-warni di pundakku, yang biasanya melindungi dari angin dingin pagi, kini terasa berat, seolah membawa beban kesedihan Iliana yang tak bisa aku tepis. Popok putihnya yang sederhana dan kaki kecil yang mungil tampak seperti malaikat kecil yang tersesat dalam perjalanan panjang ini, mencari kenyamanan di tengah kebingungan yang tak ia mengerti. Mungkin ia rindu pelukan Nana, atau mungkin ia merasa asing dengan ibunya yang tiba-tiba tidak ikut, meninggalkan kami berdua di dalam mobil yang berderit pelan, membawa kami menjauh dari kenangan yang hangat.
Di luar jendela, rumah-rumah sederhana dengan genting tua dan pohon yang menjulang tinggi menjadi saksi bisu perjalanan kami, seolah memahami betapa kecilnya dunia Iliana saat ini, namun seberapa besar pula harapan yang tersimpan di balik setiap tangisnya. Tangisnya bukan sekadar suara, tetapi lagu kehidupan yang sederhana, penuh makna, seperti halnya kisah-kisah kecil di sudut desa yang luput dari perhatian, namun menyimpan kekuatan tak terbatas. Di mobil itu, di tengah jalan yang panjang, aku menemukan kekuatan dalam tangisan Iliana—suara yang mampu membangun harapan, meski dalam bentuk yang paling sederhana dan polos.