Hari ini aku menjenguk Lek Syafak di Rumah Sakit Pandan Arang, Boyolali. Sejak pagi, langit terlihat mendung, seperti ikut merasakan beban yang menggayuti hati orang-orang yang menunggu kesembuhan orang tercinta di rumah sakit ini. Aku berjalan melewati lorong-lorong panjang, menyusuri barisan ruangan yang seragam: pintu-pintu putih dengan nomor-nomor kecil di atasnya, suara perawat berbicara lirih di kejauhan, dan langkah-langkah tergesa keluarga pasien yang membawa kantong plastik berisi obat atau makanan.
Ketika aku masuk ke kamar tempat Lek Syafak dirawat, ruangan itu berbeda dari yang kubayangkan. Tidak ada dinding putih polos yang dingin seperti rumah sakit pada umumnya. Sebaliknya, dinding berpanel kayu cokelat memberi sedikit kesan hangat, seakan berusaha mengurangi ketegangan yang biasanya menyelimuti tempat-tempat seperti ini. Di atas kepala tempat tidur, terpasang soket listrik dan alat-alat medis yang terlihat bersih dan rapi. Pendingin ruangan bekerja dengan tenang, membuat udara di dalam ruangan terasa sejuk.
Lek Syafak terbaring di tempat tidur rumah sakit, mengenakan kaus cokelat. Selimut hijau menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya pucat dan terlihat lelah, tetapi matanya masih menyimpan keteguhan. Selang infus terpasang di tangannya, cairannya menetes perlahan, menciptakan ritme yang seolah menghitung waktu dengan sabar. Sesekali, ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya pelan, mungkin mencoba menghilangkan rasa sakit yang mengendap di tubuhnya.
Di samping tempat tidur, Mbak Fitri berdiri. Tangannya menggenggam erat tangan bapaknya, seolah ingin menyalurkan kekuatan melalui genggaman itu. Matanya merah, bukan karena menangis, tetapi karena kurang tidur dan kelelahan. Aku bisa merasakan kegelisahan di hatinya, harapan dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Ia ingin bapaknya segera pulih, ingin melihatnya bangkit dari tempat tidur ini dan kembali tersenyum seperti dulu.
Di sisi lain, Ibuku, Kakak Lek Syafak, dengan hijab cokelat dan biru tua berdiri dengan masker menutupi wajahnya. Tatapannya penuh perhatian. Tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Di rumah sakit seperti ini, terkadang kehadiran lebih berarti daripada kata-kata.
Aku berdiri di samping tempat tidur, mencoba mengajak Lek Syafak berbicara. Lek Syafak tersenyum tipis, meskipun aku tahu, ada rasa sakit yang ia tahan.
Matanya bergerak ke arah Mbak Fitri, seolah ingin meyakinkan putrinya bahwa ia baik-baik saja. Aku melihat bagaimana Mbak Fitri menatapnya balik, mencoba tersenyum tetapi sulit menyembunyikan kekhawatiran di matanya.
Saat itu, pikiranku melayang ke Iliana. Aku membayangkan jika suatu hari aku yang terbaring di sini, dengan wajah lelah dan tubuh yang sedang sakit. Bagaimana perasaan Iliana jika ia harus berdiri di samping tempat tidurku, seperti Mbak Fitri berdiri di samping bapaknya saat ini? Akankah ia menatapku dengan mata penuh harapan seperti itu? Akankah ia menahan tangisnya agar aku tidak merasa lebih sakit? Aku tidak ingin membayangkan itu terjadi. Aku harus sehat. Aku harus kuat. Aku ingin Iliana selalu melihatku dalam keadaan baik-baik saja.
Di luar jendela, matahari mulai nampak walau masih tertutup awan sesekali. Cahaya masuk ke dalam ruangan, memantul di panel kayu di dinding, jatuh di wajah Lek Syafak, di wajah Mbak Fitri, di tangan yang masih saling menggenggam erat. Cahaya itu terasa hangat, seperti sebuah doa tanpa suara.
Aku menunduk dalam hati, berdoa untuk Lek Syafak. Berdoa untuk Mbak Fitri. Berdoa untuk semua orang yang menunggu kesembuhan orang tercinta di rumah sakit ini.
Semoga Lek Syafak segera pulih. Semoga semua yang sakit lekas sehat.
Hujan baru saja reda ketika aku dan Iliana berjalan di trotoar yang masih basah, sisa air hujan memantulkan cahaya lampu jalan yang kekuningan. Iliana, dengan piyama kuning bermotif zebra yang sedikit lembap, menggenggam sepotong roti di tangannya. Rambutnya masih basah, mungkin terkena rintik hujan sebelumnya. Matanya yang bulat menatap jalanan dengan penuh rasa ingin tahu, sesekali menoleh padaku seakan menunggu sesuatu.
Aku meraih tangannya yang kecil dan hangat, lalu berkata, “Ayo kita beli sate dulu.” Matanya langsung berbinar, ia tahu ke mana tujuan kami. Warung sate langganan kami hanya berjarak beberapa meter dari sini, aroma daging yang terbakar di atas bara api sudah tercium sejak kami berjalan mendekat.
Di depan gerobak sate, Iliana berdiri dengan sabar, memperhatikan tukang sate yang cekatan membolak-balik tusukan daging di atas panggangan. Sesekali, bara api menyala lebih besar saat lemak meleleh terkena panas, membuat Iliana sedikit mundur tapi tetap penasaran. Aku memesan dua puluh tusuk sate ayam tanpa lontong, lalu duduk di kursi plastik sambil menunggu.
Tak lama, sate kami siap. Aku membawa bungkusan itu dan kembali menggandeng tangan Iliana. “Sekarang wedang ronde, ya?” tanyaku. Ia mengangguk antusias.
Kami berjalan menuju gerobak wedang ronde yang tak jauh dari sana. Udara malam yang dingin membuat uap dari mangkuk-mangkuk wedang ronde terlihat jelas di bawah lampu jalan. Iliana menunjuk ke arah bola-bola ketan berwarna putih dan merah yang mengapung di dalam kuah jahe hangat. “Yang banyak kacangnya, Pak,” pintanya polos. Aku tersenyum dan meminta penjualnya menambahkan lebih banyak kacang goreng dan kolang-kaling dalam mangkuk kami.
Malam semakin larut, tapi kebersamaan ini membuat waktu terasa lambat dan berharga. Aku melihat Iliana menikmati setiap suapan, menikmati momen sederhana yang mungkin akan menjadi kenangan di masa depannya. Aku pun melakukan hal yang sama—menyimpan momen ini dalam ingatan, agar suatu hari nanti, ketika ia sudah besar, aku bisa mengingat kembali malam di mana kami duduk bersama di bawah langit yang baru saja berhenti menangis, menikmati sate dan wedang ronde di sebuah sudut kota.