Pukul 19.16

Aku mengayuh sepeda perlahan, membiarkan malam merangkulku dengan segala sunyinya. Jalan ini, yang sudah kuhafal lekuk dan bayangannya, menjadi sahabat setia dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah. Pohon-pohon rindang di pinggir jalan berbisik lembut ketika angin menggerakkan dedaunan mereka, seolah ingin menyampaikan cerita yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berjalan pelan, mereka yang memilih untuk mendengar.

Lampu jalan bersinar samar, berpendar keemasan di antara ranting dan dahan. Cahaya itu jatuh di aspal yang sedikit lembap, menciptakan refleksi yang membuat jalanan tampak seperti jendela menuju dunia lain. Di kejauhan, ada kerlip lampu kendaraan yang melaju di jalan utama, seolah menggoda untuk ikut dalam hiruk-pikuknya. Tapi aku tetap di jalanku, menikmati ritme pelan yang kupilih sendiri.

Di dunia yang berlari kencang, aku memilih berjalan santai. Aku memilih mengayuh sepeda dengan kecepatan yang memungkinkan aku mendengar suara gesekan ban dengan tanah, suara jangkrik yang bernyanyi tanpa peduli dunia luar, dan suara nafasku sendiri yang teratur.

Hidup yang lambat adalah kemewahan. Kemewahan untuk melihat detail yang sering terlewatkan: rumah dengan pagar putih yang dihiasi tanaman rambat, papan nama tua yang bertuliskan nama sekolah, dan tikungan kecil yang setiap hari kulewati tanpa benar-benar menyadari keindahannya.

Slow living bukan hanya tentang melambat, tapi tentang menyadari. Menyadari bahwa malam ini, perjalanan pulang ini, adalah bagian dari kehidupan yang seharusnya dinikmati. Bahwa sepeda ini bukan sekadar alat transportasi, tapi sahabat yang membawaku pulang dengan tenang. Bahwa lampu jalan yang temaram adalah pengingat bahwa tak semua hal harus terang dan cepat; beberapa hal justru lebih indah dalam kesederhanaan dan ketenangan.

Aku tersenyum kecil, menghirup udara malam dalam-dalam. Aku sudah dekat rumah, di mana Iliana mungkin sudah tertidur dan Nana mungkin sedang membaca buku di ruang tamu. Dan aku? Aku masih di sini, di jalan pulang yang penuh cerita.

Aku sering berpikir, seharusnya manusia tidak mempersulit manusia lain. Bukankah hidup ini sudah cukup rumit tanpa harus ditambah dengan kesulitan yang diciptakan oleh sesama? Tapi kenyataannya, di dunia yang serba cepat dan sibuk ini, terlalu banyak orang yang justru menjadi beban bagi orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak.

Di jalan, aku melihat bagaimana orang-orang beradu ego, tak mau mengalah, seolah kecepatan mereka lebih penting daripada keselamatan bersama. Klakson dibunyikan tanpa sabar, motor saling serobot, mobil melaju tanpa peduli. Seakan waktu mereka lebih berharga daripada waktu orang lain, seakan dunia ini hanya milik mereka seorang.

Di ruang-ruang pelayanan publik, aku melihat bagaimana senyum ramah sering kali menjadi barang mewah. Orang-orang yang datang dengan harapan sering kali pulang dengan kekecewaan, bukan karena mereka tidak memenuhi syarat, tapi karena sistem yang dibuat seolah ingin menguji kesabaran.

Dan yang paling menyedihkan, di kehidupan sosial, aku melihat bagaimana manusia sering kali lebih suka menjatuhkan daripada mengangkat, lebih suka mencemooh daripada memahami. Mereka menilai tanpa mencoba mengerti, mereka menghakimi tanpa mendengarkan. Seolah kebahagiaan mereka tergantung pada kesulitan orang lain.

Aku menarik napas dalam, kayuhan sepedaku melambat.

Jika saja manusia lebih sering bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah yang kulakukan ini memudahkan atau justru mempersulit orang lain?” barangkali dunia akan terasa lebih ringan. Barangkali hidup tidak akan seberat ini.

Di dunia yang sudah penuh dengan tantangan, seharusnya kita saling membantu, bukan saling menghalangi. Seharusnya kita menjadi jalan keluar, bukan labirin yang membingungkan. Seharusnya kita seperti lampu jalan yang menerangi, bukan bayangan gelap yang menghalangi.

Sepedaku terus melaju. Malam semakin dalam.

Aku tahu aku tak bisa mengubah dunia seorang diri, tapi setidaknya aku bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari mereka yang mempersulit. Aku bisa memilih untuk lebih sabar, lebih memahami, lebih banyak membantu. Aku bisa memilih untuk menjadi seseorang yang membuat dunia sedikit lebih ringan, meski hanya dengan hal-hal kecil.

Dan mungkin, jika lebih banyak orang berpikir demikian, hidup bagi semua orang tidak akan terasa seberat ini.