Malam itu, aku melakukan perjalanan menuju Banjarnegara, membawa ingatan yang berat seperti kabut dingin yang menyelimuti jalanan gelap, memanjang tanpa ujung di depan mata, seolah membawa beban tak terucapkan yang terus menggema di dalam hati. Mobil tua yang setia mengantarku berderit pelan, suaranya seperti bisikan nostalgia yang menyayat hati, menabrak genangan air hujan yang bersinar keemasan di bawah lampu jalan yang redup, hampir mati, diterpa angin sepoi-sepoi yang membawa dingin menusuk tulang. Perjalanan panjang dari Colomadu, Karanganyar, terasa seperti perjalanan jiwa yang terus mencari kedamaian di balik rintik-rintik hujan yang tak henti-hentinya berjatuhan, menciptakan irama monoton di atap mobil, seolah menggoda aku untuk berhenti sejenak, merenung, dan menyerap setiap detik ketenangan yang langka di tengah hiruk-pikuk hidup.
Tapi di tengah perjalanan, aku tersesat—atau mungkin, diarahkan oleh takdir untuk menemukan sesuatu yang tak kusangka, sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan malam yang membatasi pandangan, seperti rahasia yang menunggu untuk diungkap. Aku memutuskan untuk singgah di tengah kota Temanggung, di sebuah sudut kecil yang penuh dengan aroma hangat dari pedagang kaki lima, wangi minyak goreng dan bumbu-bumbu yang menyatu dengan udara dingin, membawa sedikit kehangatan di tengah malam yang sunyi. Gambar itu masih terpampang jelas di benakku, seolah tertanam dalam ingatan seperti lukisan abadi: sebuah gerobak sederhana, berdiri kokoh di pinggir trotoar basah, diterangi oleh lampu pucat yang bergoyang-goyang di angin malam, cahayanya samar-samar menembus hujan yang tipis namun tak kunjung reda, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di sekitar.
Terpal oranye besar menggantung rapat, menjuntai hingga menyentuh tanah, melindungi si pemilik gerobak dari guyuran air yang dingin, seolah menjadi perisai bagi harapan kecil di tengah keterbatasan hidup yang keras, sebuah simbol ketahanan yang sederhana namun luar biasa. Di atas meja aluminium yang bersih namun sederhana, kilau logamnya samar di bawah cahaya lampu, terlihat tusuk-tusuk sate masih bungkus dengan rapi, tertata dalam wadah plastik transparan—sate telur puyuh, sate usus, dan sate hati—menggoda perut yang sudah lapar setelah berjam-jam menyetir melewati jalanan berkelok, menawarkan kenikmatan sederhana yang menjadi penawar lelah. Aroma pedas manis dari bumbu kecap dan rempah-rempah yang menyeruak, meski samar, cukup kuat untuk menggoda indra, menyadarkan aku akan kebutuhan dasar yang sering terlupakan di tengah kepenatan perjalanan dan kesibukan sehari-hari.
Di depan gerobak, seorang ibu berjilbab berumur sekitar 50 tahun duduk termenung di kursi plastik kecil yang sudah lusuh, warnanya memudar karena terlalu lama terkena matahari dan hujan, meninggalkan jejak waktu yang tak bisa disembunyikan. Matanya menerawang jauh ke arah jalan yang basah, refleksi lampu jalan menari-nari di genangan air di depannya, seolah membawa ingatan yang jauh, terperangkap dalam pikiran yang tak terucapkan. Ketika aku bertanya asal-usulnya, ibu itu menoleh perlahan, suaranya pelan namun penuh ketenangan, “Saya bukan asli Temanggung, Pak. Saya dari Bekasi, pindah ke sini bertahun-tahun lalu demi mencari rezeki.” Suaranya membawa nada tawa kecil, tapi juga beban perjalanan panjang yang tak bisa disembunyikan, sebuah cerita yang terbuka lebar bagi siapa saja yang mau mendengar.
Sementara aku mendengarkan, pikiranku melayang, menggoda aku untuk berpikir tentang kehidupan dan kebebasan berekspresi. Aku tersadar, dalam hati, bahwa setiap orang—termasuk ibu berjilbab ini, dengan cerita perjalanan dan perjuangannya dari Bekasi ke Temanggung—berhak menyampaikan pendapat, berbagi kisah, dan mengekspresikan apa yang ada di dalam hati mereka, tanpa rasa takut atau batasan. Di tengah dunia yang penuh dengan suara-suara yang berlomba-lomba, aku yakin setiap suara, sekalipun dari sudut gelap sebuah gerobak sate di malam hujan, memiliki nilai dan makna yang sama besarnya.
Di sekitar, pohon-pohon menjulang gelap, daun-daunnya bergoyang lembut diterpa angin, seperti saksi bisu malam yang merekam setiap langkah, setiap cerita, dan setiap doa di sudut kota kecil itu. Kini, aku berdiri di sana, di antara hembusan angin dan suara derit gerobak yang samar, merasa seperti anak kecil yang tersesat di tengah kota asing, dikelilingi oleh bayang-bayang yang samar namun familiar. Gerobak itu, dengan terpal oranye dan lampu redupnya, bukan sekadar pemandangan biasa. Ia seperti cerminan hidupku sendiri—sederhana, penuh perjuangan, namun tetap menyala di tengah kegelapan, menawarkan sedikit cahaya di antara badai hujan dan ketidakpastian.
“Pak, mau sate telur puyuh, usus, atau hati?” suara ibu itu lembut, memecah lamunanku yang terjebak dalam pikiran-pikiran jauh tentang keadilan, kebebasan, dan perjuangan hidup. Aku tersenyum, mengangguk pelan, dan duduk di samping gerobak, menarik napas dalam-dalam untuk menyerap udara malam yang dingin dan lembap. Malam itu, di tengah kota Temanggung yang basah, aku menemukan lebih dari sekadar makanan hangat—aku menemukan cerita, sebuah potongan hidup yang tersimpan dalam setiap tusuk sate dan setiap tetes hujan yang jatuh perlahan, mengajarkan aku tentang kekuatan suara yang tak pernah padam, meski dalam keheningan malam.