Hari ini, pikiranku seperti sungai yang deras di musim penghujan. Berkelok, berputar, menabrak batu-batu kecemasan, sebelum akhirnya tiba di muara lelah. Seharian aku bergulat dengan angka-angka, dengan kata-kata yang harus kususun dalam urutan yang tepat, dengan dunia yang menuntut terlalu banyak dari kepala yang hanya satu.
Tapi di sinilah aku sekarang, duduk di depan piano. Jemariku menyentuh tuts-tutsnya, seperti seorang musafir yang akhirnya menemukan mata air di tengah gurun. Nada pertama mengalir, pelan, merayap di dinding kamar yang bisu. Nada kedua menyusul, lalu ketiga, membentuk melodi yang samar-samar kuingat dari masa lalu. Entah itu sebuah lagu yang pernah kunyanyikan di bawah langit sore, atau hanya bisikan hatiku sendiri.
Aku menutup mata. Dunia mengecil, menyusut menjadi hanya aku dan piano ini. Seolah-olah ada suara yang berkata, “Tak apa lelah, kau masih punya musik.”
Jari-jari ini terus menari. Nada-nada yang kusembunyikan di balik kepenatan siang hari, kini bebas beterbangan. Aku membiarkan mereka meluncur, membentuk irama yang tak terpikirkan, tetapi terasa begitu tepat. Musik ini bukan untuk siapa-siapa, hanya untukku—untuk merawat kewarasan, untuk meredakan letih yang bahkan tak bisa kutemukan ujungnya.
Aku menarik napas panjang. Kamar ini hening kembali. Piano ini telah menjadi saksi, bahwa bahkan di hari-hari tersulit, aku tetap bisa menciptakan harmoni. Malam semakin larut, dan aku tahu, besok pagi dunia akan kembali menuntut. Tapi setidaknya malam ini, aku telah menemukan sepotong ketenangan dalam denting-denting kecil yang lahir dari jemariku sendiri.
Nada terakhir masih menggantung di udara ketika aku mulai melamun.
“Tidak ada makan siang gratis.”
Kalimat itu bergema di kepalaku seperti sebuah mantra yang pernah kudengar entah di mana. Aku mencoba mengingat, dari buku ekonomi? Dari percakapan di kedai kopi? Dari nasihat seorang senior di kantor? Entahlah. Tapi semakin kupikirkan, semakin aku merasa bahwa hidup memang tak pernah benar-benar menawarkan sesuatu tanpa harga.
Aku menatap tuts-tuts piano di depanku. Bahkan untuk bisa memainkan satu lagu dengan lancar, aku harus membayar dengan waktu, dengan latihan, dengan ketekunan. Tidak ada yang jatuh begitu saja dari langit. Semua yang berharga harus diperjuangkan.
Barangkali itulah yang dimaksud oleh mereka yang pertama kali mengucapkan pepatah itu. Di bar-bar Amerika, mereka menawarkan makan siang gratis, tapi tentu saja ada syaratnya. Harus beli minuman. Harus duduk di sana, mungkin sampai larut malam, hingga dompet lebih ringan dari yang seharusnya.
Aku tersenyum kecil. Hidup, pada dasarnya, adalah serangkaian transaksi yang tak selalu terlihat jelas. Setiap pilihan membawa harga, bahkan ketika kita berpikir sedang mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma. Waktu yang kuhabiskan di sini, bermain piano, adalah waktu yang tak bisa kuhabiskan untuk membaca, atau tidur, atau berbincang dengan Nana dan Iliana. Tapi aku memilih ini, karena ada harga yang lebih mahal jika aku tidak melakukannya—harga dari jiwa yang tak sempat bernapas, dari hati yang tak sempat menyanyi.
Aku menarik napas panjang. Piano ini tak akan bermain sendiri, seperti halnya hidup tak akan berjalan ke arah yang kuinginkan tanpa usaha. Aku menekan tuts pertama lagi, membiarkan musik mengalir, membayar harga kecil untuk sepotong ketenangan, sebelum esok datang membawa harga-harga lainnya.