Pada malam yang pulang perlahan dari langit, aku mengayuh sepedaku melewati jalanan yang setia. Jalan itu tidak ramai. Tidak pula sepi. Seperti hidup, kadang hanya berlalu, tanpa perlu dimengerti.
Di ujung pandanganku, lampu jalan menyala dengan malu-malu. Mereka seperti penjaga kota yang kesepian, berdiri tegak tapi tak pernah bertanya siapa yang datang atau pergi. Dinding di sebelah kanan dihias mural, seolah seniman jalanan sedang mencoba berbisik kepadaku: bahwa warna bisa mengobati letih.
Sebuah motor melintas cepat di depanku. Tak menoleh. Tak tahu bahwa di belakangnya, aku sedang menempuh perjalanan dengan lambat, tapi penuh makna.
Tangan kiriku memegang stang sepeda, tangan kananku entah sedang menyimpan cerita apa. Mungkin cerita tentang hari ini, tentang canda tawa di sela kerja, tentang lelah yang tak terasa karena dikelilingi teman-teman yang menyenangkan. Aku bersyukur—benar-benar bersyukur—karena di dunia yang serba buru-buru ini, aku diberi kesempatan untuk bekerja bersama orang-orang baik. Tertawa bersama mereka di tengah bekerja adalah hadiah yang tak bisa dibeli.
Bersepeda dari Manahan ke Colomadu bukan sekadar pindah tempat. Itu adalah ziarah sunyi pada impian-impian kecil yang belum mati. Itu adalah caraku mencintai hidup ini dengan diam-diam, meski tak ada yang peduli.
Dan malam ini, di bawah langit Solo yang tabah, aku telah sampai pada satu titik di mana lelah menjadi indah. Sebab aku tahu, meskipun dunia tak selalu ramah, jalan pulang tetap akan selalu ada.