Setiap Orang Akan Menjadi Puitis Ketika Sedang Jatuh Cinta atau Patah Hati


Setiap orang, pada suatu titik dalam hidupnya, akan menjadi puitis. Bukan karena mereka membaca Sapardi atau menulis sajak di kertas, tapi karena hati mereka sedang rapuh—oleh cinta yang tumbuh, atau oleh luka yang baru saja dibuka. Pada momen-momen itulah, kata-kata yang biasa menjadi tak biasa, dan langit senja tampak seperti surat kabar rahasia dari semesta.

Dan pada momen seperti itu pula, dua otak dalam kepala mulai berdebat dalam bisu. Otak Bercahaya berbicara dengan harapan, mengajukan kemungkinan indah yang belum sempat diraih. Otak Mendung menenggelamkan semuanya dalam keraguan, berkata bahwa tidak semua yang indah diciptakan untuk dimiliki.

Di layar laptop kerjaku, dan laptop kerja teman - temanku juga, terpampang gambar dua jalan pikiran itu. Satu ingin tumbuh, satu ingin mundur. Lalu, sore tadi di luar sana ketika aku pulang kantor dengan bersepeda seperti biasa, ada patung pemanah di perempatan kota. Ia tidak sedang jatuh cinta, tidak juga patah hati. Tapi sikap tubuhnya… oh, itu bahasa yang lebih puitis dari puisi mana pun.

Ia berdiri memanah langit. Langit yang luas, yang tak pernah bisa disentuh. Seperti hati seseorang yang tak bisa dimiliki, atau mimpi yang masih terlalu jauh. Tapi ia tetap menarik busur. Karena ia tahu, bahkan jika anak panahnya jatuh, ia telah menunjukkan keberanian tertinggi: mencoba, walau tahu bisa gagal.

Seperti itulah cinta, bukan? Seperti itulah juga patah hati. Keduanya membuat seseorang berani melakukan hal-hal yang biasanya tak masuk akal: menunggu dalam diam, berharap dalam keheningan, atau menulis catatan kecil tentang dua otak dalam kepala sambil menatap patung di sudut kota. Bahkan aku pernah menulis kalimat yang sepuitis ini dulu, misal "hatiku telah lama selesai dan dunia ini tak lagi memikatku" atau "aku mencintaimu, dan tidak membutuhkan jawaban apapun" 

Maka, benar adanya: "setiap orang akan menjadi puitis ketika sedang jatuh cinta atau patah hati." Karena hanya dalam cinta dan kehilangan, kita cukup gila untuk menembakkan anak panah ke langit—dan cukup jujur untuk mengakui bahwa kadang, kita hanya berharap langit menjawab.